Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyelenggarakan Workshop Success Story Tata Kelola dan Restorasi Ekosistem Gambut di Jakarta, Rabu (19/06/2024). Acara ini diinisiasi sebagai bentuk apresiasi terhadap upaya kolektif dalam memelihara keberlanjutan ekosistem gambut, sekaligus menjadi rangkaian Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2024.
Workshop diisi dengan paparan dari berbagai narasumber dan diskusi interaktif. Hadir sebagai narasumber para pakar akademisi ekosistem gambut, local hero Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG), perwakilan dunia usaha dan masyarakat yang membagikan kisah sukses dan praktik baik tentang restorasi ekosistem gambut.
Berbicara pengelolaan gambut di Indonesia, Wakil Menteri LHK Alue Dohong menyampaikan dari sisi kebijakan/regulasinya, kita sudah melakukan korektif kebijakan/regulasi. Jadi sudah banyak Peraturan Menteri/Peraturan Dirjen yang mengatur bagaimana mengelola gambut, baik pemulihannya, perlindungannya maupun pemanfaatannya.
Kemudian dalam kegiatan implementasinya, Wamen Alue Dohong mengatakan pemulihan gambut dipersyaratkan di dunia usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan gambut, baik oleh HTI, perkebunan sawit, maupun masyarakat.
Lebih lanjut, Wamen Alue Dohong mengatakan pemulihan ekosistem gambut dilakukan melalui pendekatan 3R. Pertama, rewetting of drained peat, pembasahan kembali gambut yang terdrainase melalui pembangunan infrastruktur pembasahan gambut seperti sekat kanal atau kanal blocking, canal back filling atau penimbunan kanal, dll. Kedua, pemulihan dilakukan melalui revegetasi. Ketiga, revitalisasi sumber mata pencaharian masyarakat.
Wamen Alue Dohong menyatakan restorasi itu proses jangka panjang. Untuk restorasi hidrologinya sendiri, misalnya saat membangun infrastruktur itu membutuhkan waktu sampai 5, 6 bahkan 10 tahun agar stabil.
“Gambut yang terdegradasi karena gangguan hidrologis itu kita stabilkan dulu harusnya, baru kita revegetasi. Tahap revegetasi dengan spesies endemik juga tergantung, ada yang fast dan slow growing species,” ujarnya.
Tidak hanya tahap pemulihan hidrologi dan revegetasi saja, revitalisasi sumber mata pencaharian masyarakat juga butuh kestabilan. Kegiatannya berbasis tiga hal yaitu pertama berbasis air, misalnya kegiatan perikanan, dan keramba di lahan gambut dengan ikan endemik. Kedua, berbasis lahan, artinya lahan-lahan yang selalu basah, misalnya paludi culture species, jadi tanaman-tanaman yang menyukai air. Ketiga, environmental services seperti ekowisata, penyerapan karbon, dll.
Selain itu, Wamen Alue Dohong mengatakan kegiatan pemulihan atau restorasi gambut itu juga membutuhkan dukungan pentahelix dan kolaboratif. Jadi, ada kerja sama dan kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, scientific communities dari perguruan tinggi dan periset, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat hingga dunia usaha.
Oleh karena itu, prinsip restorasi gambut itu berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), tidak boleh parsial. Jadi orkestrasinya KHG ini dibuat perencanaan. Saat ini, kita sudah mempunyai rencana jangka panjang yaitu Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) secara nasional. Jadi setiap KHG sudah ada sistem perencanaannya. Hal inilah yang harus diorkestrasi bersama, sehingga semua pihak terlibat.
“Upaya restorasi juga termasuk mencegah supaya tidak terjadi degradasi terus menerus, tidak terjadi kebakaran, tidak terjadi subsidence, tidak terjadi compaction, kemudian akselerasi dekomposisi gambut yang semuanya bisa merilis karbondioksida,” ujar Wamen Alue Dohong.
Pada kesempatan tersebut, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Sigit Reliantoro mengatakan Indonesia telah berhasil mematahkan mitos bahwa lahan gambut yang terdegradasi tidak dapat dipulihkan. Nyatanya, dalam kurun waktu 10 tahun, keberhasilan pemulihan ekosistem gambut terutama secara hidrologis mencapai kurang lebih 5,5 juta hektar.
Selama sepuluh tahun terakhir, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo juga dideklarasikan untuk tidak ada lagi kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia. Pemerintah memprioritaskan strategi untuk mencapai tujuan tersebut yaitu pencegahan sekaligus pemulihan ekosistem gambut yang rusak. Tindakan hukum yang tegas pun diterapkan terhadap individu maupun korporasi yang bertanggung jawab menyebabkan kebakaran.
Sigit melaporkan sejumlah kegiatan telah dan akan terus dilaksanakan oleh Kementerian LHK, mulai dari inventarisasi karakteristik dan penetapan fungsi ekosistem gambut. Kemudian, pembinaan teknis dan penyusunan, serta pelaksanaan rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Selain itu, ada kegiatan pemulihan fungsi ekosistem gambut melalui program Desa Mandiri Peduli Gambut.
“Kita juga sudah memasukkan program peningkatan kinerja usaha dan atau kegiatan yang berada di ekosistem gambut ke dalam penilaian PROPER atau program penilaian peningkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup,” katanya.
Dalam prosesnya, Sigit menyampaikan banyak sekali pihak-pihak yang terlibat, dan ilmu-ilmu yang sudah dipelajari. Pada kesempatan workshop ini, selain mengevaluasi apa yang sudah berhasil dilaksanakan, kita juga mengevaluasi apa yang mesti diperbaiki dari proses tersebut.
“Mudah-mudahan melalui pertemuan ini, kita akan bisa sekali lagi merefleksikan, kemudian mengambil manfaat dari apa yang sudah kita lakukan dan merencanakan perbaikan di masa mendatang,” ujarnya.
Peserta workshop ini berasal dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia, pimpinan dunia usaha, para tokoh masyarakat, generasi muda, dan komunitas peduli lingkungan.
Workshop ini diharapkan dapat menjadi forum bagi para pemangku kepentingan untuk bertukar pengalaman, memperluas wawasan, dan menghasilkan rekomendasi praktis dalam mendukung upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut secara berkelanjutan. Partisipasi aktif dari pemerintah, masyarakat, dunia usaha, perguruan tinggi, dan mitra pembangunan lainnya akan membantu mencapai tujuan bersama untuk gambut lestari.
Editor: Amiruddin. MK