Wakil Ketua MAA Aceh: Pengawasan Pengelolaan Hutan Sudah Semestinya Kembali Ke Adat Istiadat - NOA.co.id
   

Home / Pendidikan / Sosial

Minggu, 22 Mei 2022 - 04:46 WIB

Wakil Ketua MAA Aceh: Pengawasan Pengelolaan Hutan Sudah Semestinya Kembali Ke Adat Istiadat

REDAKSI

Wakil Ketua MAA Aceh, Syeh Marhaban. Foto: Ist.

Wakil Ketua MAA Aceh, Syeh Marhaban. Foto: Ist.

Banda Aceh – Secara umum, pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat adat di Aceh meliputi beberapa aspek, antara lain, pola umum pemanfaatan hutan, zonasi kawasan hutan, fungsi hutan, pengaturan pemanfaatan hutan, kewenangan dan peran lembaga adat, kearifan adat pemanfaatan hutan.

Berdasarkan tradisi, Wakil Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Syeh Marhaban menjelaskan pemanfaatan kawasan hutan terbagi dalam empat kegiatan utama. Pertama, pemanfaatan hutan untuk kegiatan berladang (meuladang) dan berkebun (meulampah) Kegiatan ini dipimpin oleh peutua ladang, peutua gle, atau peutue seuneubok.

 

Kedua, kegiatan mengumpulkan hasil hutan non kayu, seperti rotan, damar, gaharu, getah perca, getah jelutung, jernang dan kayu alin.

 

Ketiga kegiatan berburu, meliputi berburu rusa (meurusa) dan kijang (meuglueh).

Keempat, kegiatan mencari ikan (meu-eungkot), khususnya ikan keureuling (jurung) yang banyak terdapat di hulu sungai di dalam hutan.

“Pemanfaatan kawasan hutan diatur secara khusus, melalui lembaga Panglima Uteun dan adat pengelolaan hutan,” ujar Syeh kepada NOA, Sabtu (21/05/2022).

Oleh karena itu, Syeh berujar sudah semestinya pengelolaan Hutan Aceh juga tak luput dari pengawasan MAA, menurutnya Meuglee memang budaya Aceh dari dahulu kala.

Berdasarkan pengamatan terhadap kegiatan pemanfaatan kawasan hutan di Aceh, Syeh menjelaskan secara umum fungsi hutan meliput sumber pangan/ protein hewani, ekonomi, obat-obatan, penyimpan air kawasan penyangga, bahan perumahan dan rekreasi.

“Hingga saat ini, kawasan hutan masih merupakan sumber cadangan pangan terpenting baik dalam situasi normal maupun darurat. Ada dua bahan pangan penting yang berasal dari kawasan hutan, yaitu janeng ( gadung hutan dan sage (sagu). Kedua tanaman ini menjadi andalan utama dalam menghadapi skenario darurat pangan. terutama katika menghadapi masa paceklik Sebagai contoh, tradisi meujaneng di kalangan masyarakat tani di mukim Lam Leu Ot dan sekitarnya (Aceh besar dan tradisi meussagee mengolah saggu di Pantai Barat Selatan Aceh,” jelasnya.

 

Setiap tahun, khususnya setelah selesai menyiangi padi, kaun perempuan di mukim tersebut melakukan kegiatan pengumpulan janeng untuk cadangan pangan atau bekal keluarga menghadap masa pacekik.

Kegiatan ini sebagai langkah berjaga-jaga apabila terjadi gagal panen. Hal ini dapat dimaklumi, karena sawah-sawah di mukin tersebut pada masa dahulu masih beraga sewah tada hujan yang sangat rentan mengalami resiko kekeringan khusus di pantai Barat Selatan Aceh, kawasan hutan rawa/ payau menjadi sumber penghasil sagu untuk kebutuhan pangan keluarga.

Tradisi mengolah sagu di kawasan ini telah memberikan sumbangan penting dalam menghadapi masa paceklik, akibat gagal panen padi pada tahun 1970-an, khususnya di Aceh Selatan
Selain itu, hutan juga merupakan penghasil bahan sayuran yang bernilai ekonomi, seperti batang pisang hutan untuk gulai daging (Aceh: kuah beulongong, daun paku, batang/ bunga dan buah kala untuk bahan gulai berbagai jenis unggas dan ikan paya Selanjutnya, hutan juga menyediakan kebutuhan protein keluarga, berupa daging hewan buruan dan ikan di sungai di dalam hutan.

MAA juga merangkum berbagai hal yang harus masyarakat ketahui terhadap adat istiadat pengelolaan dan manfaat hutan sebagai berikut:

Sumber protein keluarga

Berdasarkan tradisi, kegiatan pegumpulan protein hewani umumnya untuk kebutuhan keluarga dan jarang sekali dijual.

Kegiatan tersebut antara lain: dalam bentuk meurusa (berburu rusa), meuglueh (berburu kijang) dan meu-ungkot (mencari ikan).

Kegiatan meurusa dilakukan dengan pada bulan-bulan tertentu, agar tidak mengganggu proses regenerasi hewan tersebut.

Namun, pada masa sekarang, kegiatan meurusa telah dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan adat, yaitu penggunaan senjata api secara berlebihan dan tidak lagi dilakukan secara beramai-ramai dengan melibatkan warga gampong.

Tetapi cenderung kepada penyertaan terbatas sekitar lima hingga sepuluh orang dan meminjam senapan dari aparat keamanan. Rusanya pun bukan sekedar satu ekor ditembak tetapi sebanyak yang mampu di bawa.

 

Kegiatan seperti itu tentu saja bertentangan dengan dengan nilai-nilai adat dan keberlanjutan populasi rusa di masa depan.

Sumber ekonomi

Sumber ekonomi utama dari dalam kawasan hutan berupa hasil kayu dan non kayu. Hasil hutan non kayu, seperti rotan, jernang, kayu alin/ gaharu, buah jemblang (jambee kleng), ceuradi, beurangkah, damar, madu dan lilin lebah. Pada saat ini, semua hasil hutan tersebut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan mempunyai keunggulan komparatif dalam perdagangan. Hal ini karena beberapa dari hasil hutan tersebut sudah sangat terbatas dan hanya terdapat di daerah-daerah tertentu saja di Aceh.

Sebagai contoh, buah jemblang, jernang dan madu lebah.

Kegiatan pengumpulan jemblang dari kawasan Mukim Lampanah Leungah dan Krueng Raya, pada puncak musim jemblang tidak kurang dari satu ton buah jemblang dikumpulkan pedagang dari petani pengumpul di Krueng Raya dan sekitarnya.

Kegiatan pengumpulan dan perdagangan buah jemblang menyediakan lapangan kerja untuk ratusan jiwa.

Mulai dari pemetik buah jemblang, agen pengumpul, agen luar daerah hingga pedagang pengecer.

Keadaan serupa juga terjadi dalam kegiatan pengumpulan madu lebah, khususnya di sentra-sentra penghasil madu. Seperti di Aceh Besar, Aceh Jaya dan Aceh Selatan. Sedangkan hasil hutan berupa buah jernang sudah sangat terbatas jumlahnya, begitu juga dengan buah ceradi dan damar.

Baca Juga :  Polda Aceh Salurkan 10 Ribu Paket Bansos untuk Masyarakat Terdampak Kenaikan BBM

Selain itu, hutan juga dapat menjadi sumber keuangan/ pendapatan gampong, melalui pungutan wase (cukai) adat atas hasil hutan. Seperti atas hasil pengumpulan sarang burung, kayu gaharu, buah durian dan perdagangan hasil hutan lainnya.

Sumber obat-obatan

Sumber obat-obatan yang terdapat dalam kawasan hutan Aceh, khususnya obat-obat tradisional meliputi tanaman tungkat ali (Pasak bumi), kulit batang jemblang, buah reum, buah laban dan bahan pembuat obat-obatan lainnya. Selain itu juga terdapat baneng gle (kura-kura hutan) dan burung got-got yang sering untuk obat patah tulang.

Sumber air

Kesadaran terhadap peran penting hutan dalam tata air, telah melahirkan nilai-nilai yang memberikan perhatian kepada upaya perlindungan jenis-jenis kayu tertentu, khususnya yang punya kemampuan daya simpan air. Seperti pohon ara, tingkeum, rambung, perlak, reubek dan sebagainya, khususnya jika tumbuh di sumber mata air atau di sepanjang batang air.

Sumber bahan perumahan

Rumah merupakan kebutuhan setiap keluarga. Pemenuhan kebutuhan kayu untuk membangun rumah merupakan hak adat, khususnya bagi penduduk gampong yang tinggal di kawasan yang masih ada hutannya.

 

Tradisi pemanfaatan kayu di hutan untuk keperluan umum atau membangun rumah warga di temukan di hampir seluruh kawasan pedalaman di Aceh.

Sebagai contoh, di Gampong Bak Sukon, mukim Lam Leu Ot-Aceh Besar. Di gampong ini, pengambilan kayu di hutan untuk keperluan bangunan umum di gampong dikukuhkan dengan surat keterangan keuchik, dengan menyebutkan nama penebang, keperluan kayu, lokasi penebangan dan jumlah kayu yang dibutuhkan. Surat tersebut digunakan sebagai rujukan/ dasar bagi penegak hukum (kepolisian) di kecamatan Indrapuri saat itu untuk membenarkan penebang kayu membawa mesin potong kayu menuju ke kawasan hutan (kasus tahun 1992).

Kawasan rekreasi

Hutan merupakan kawasan rekreasi dan interaksi sosial yang penting bagi masyarakat pedesaan.

Khususnya dalam bentuk kegiatan berburu dan mencari ikan. Melalui kedua kegiatan tersebut, warga gampong dapat berbagi pengetahuan, kegembiraan, melatih kepemimpinan, kesetiaan dan kekompakan.

Selain itu juga meningkatkan kemampuan terhadap penguasaan informasi wilayah.

Kawasan Penyangga

Kawasan hutan penting sebagai zona penyangga, untuk mencegah konflik antara satwa dengan manusia.

Hutan yang lestari akan menyediakan makanan yang cukup bagi hewan-hewan di dalamnya. Sehingga mereka tidak turun ke kawasan pemukiman atau ke kawasan kebun/ ladang untuk mencari makanan.

Oleh sebab itu, larangan adat menebang pohon ara, rambung atau pohon-pohon penghasil makanan hewan, sangat masuk akal dan dapat diterima.

Selain itu, fungsi hutan sebagai penyerap dan penyimpan air sangat penting bagi masyarakat yang tinggal di hulu atau di muara sungai.

Cadangan air yang cukup menjadi jaminan bagi masyarakat setempat dalam menghadapi musim kemarau. Sebaliknya, daya serap air di musim hujan oleh jenis pohon tertentu menjadi penyangga agar dari terjadinya banjir yang berlebihan.

Seperti dibuktikan oleh keberadaan hutan gambut di Kawasan Aceh Jaya.
Hak-hak masyarakat adat atas tanah
Berdasarkan literatur, ada dua bentuk hak-hak masyarakat adat atas tanah, yaitu hak persekutuan (hak komunal, hak ulayat) dan hak perorangan. Hak perorangan atas tanah terdiri dari :

1. Hak milik, hak yasan;
2. Hak wenang pilih, hak mendahulu;
3. Hak menikmati hasil;
4. Hak pakai;
5. Hak imbal jabatan;
6. Hak wenang beli. (Iman Sudiyat 2000)

Kelembagaan Pengelolaan Kawasan hutan

Penguasaan dan pengaturan pemanfaatan hutan mukim berada pada lembaga mukim.

Oleh sebab itu, setiap keputusan yang berkaitan dengan pengaturan-pemanfaatan hutan mukim mestilah diputuskan melalui musyawarah yang dihadiri oleh segenap keuchik, imuem meunasah, tuha peut gampong, perwakilan pemuda dan kaum perempuan dari gampong-gampong se-mukim.

Selanjutnya, dalam pelaksanaannya, lembaga mukim membentuk dan memilih pengurus lembaga Panglima uteun.

Lembaga inilah yang melaksanakan ketentuan-ketentuan adat berkaitan dengan hutan dan mengawasi kegiatan pemanfaatan hutan. Pengurus lembaga panglima uteun sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan setempat dan sesuai dengan perkembangan zaman. Susunan pengurus panglima uteun minimal terdiri dari pimpinan (panglima uteun), wakil, sekretaris dan bendahara. Apabila kawasan hutannya luas dan tersebar di beberapa gampong, dapat pula ditunjuk beberap orang wakil.

Tugas Panglima Uteun

a. Memimpin dan mengatur pelaksanaan adat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian
hutan;
b. Menegakkan hukum adat tentang hutan;
c. Mengatur waktu berburu
d. Mengkoordinir pelaksanaan upacara adat yang berkaitan dengan hutan;
e. Mengawasi kegiatan pemanfaatan hutan dan
f. Menyelesaikan sengketa antara warga masyarakat dalam pemanfaatan hutan.

Tatacara Pemanfaatan Hutan Menurut Adat

Hutan ulayat mukim hanya boleh dimanfaatkan oleh warga mukim setempat, sedangkan warga luar mukim harus mendapatkan izin dari mukim atau gampong setempat. Selanjutnya, dalam kegiatan pengumpulan hasil hutan, sebagian hasilnya harus diserahkan sebagai hak gampong (wase gampong/ mukim) untuk digunakan sebagai sumber pendapatan gampong/ mukim.

Tatacara membuka ladang dan kebun
Pengaturan kegiatan perladangan atau membuka kebun bertujuan untuk memastikan hak-hak setiap warga gampong dapat terlindungi, mencegah konflik dan tidak membuka ladang di tempat terlarang.

Ketentuan adat dalam pembukaan ladang di kawasan hutan meliputi: perizinan, tatacara menanda tanah, penentuan batas tanah yang dibuka, tatacara membakar lahan dan status hak atas tanah yang telah dibuka atau digarap tersebut.

Baca Juga :  Penanaman 500 Mangrove Warnai Festival Mangrove Kota Langsa

Setiap warga yang akan membuka hutan untuk keperluan berladang atau berkebun untuk melapor dan meminta persetujuan pemimpin adat setempat. Baik pada peutua seuneubok, kepala dusun dan keuchik maupun kepada imuem mukim, sesuai dengan adat setempat.

Keharusan melapor kepada pimpinan adat setempat sangat diperlukan untuk mencegah timbulnya tumpang tindih klaim atas tanah yang akan dibuka dan untuk memastikan bahwa tanah yang akan dibuka tersebut masih merupakan tanoh umum (tanoh haqqullah) dan belum menjadi hak perseorangan (tanoh haqqul adam).

Setelah mendapatkan persetujuan pimpinan adat, yang bersangkutan pertama sekali melakukan kegiatan untuk memberi tanda pada lokasi tanah hutan yang akan dibuka.

Kegiatan ini dinamakan dengan tanda tanoh. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam peletakan tanda buka tanah di Aceh.

Di Aceh Besar digunakan tiga istilah berbeda, misalnya di Leupueng kegiatan peletakan tanda di tanah yang akan dibuka tersebut disebut dengan raboun chawiek atau lhat chawiek. Sedangkan di kecamatan Indrapuri dan Seulimuem disebut dengan situek, sementara di Mukim Samahani disebut dengan dong gaki.

Pembuatan tanda tanoh dilakukan dengan cara menebas sebagian semak belukar di sekitar tempat yang akan dibuka, kemudian menggantungkan seunawiet (That chawiek) di dahan pohon di tempat yang telah ditebas tersebut. Cara lain adalah membuat tanda silang di kulit pohon.

Sedangkan di Mukim Babah Lhok – Blangpidie, dilakukan dengan menggantungkan seunawiek (lhat chawiek) pada panteu (para-para) yang dibuat di lokasi tanda tanoh (Sanusi 2001).

Hak tanda tanoh berlaku selama tanda yang dibuat masih ada. Apabila tanda tersebut sudah gugur, sementara tanah belum digarap, maka gugurlah hak tanda tanoh tersebut.

Jangka waktu gugurnya hak tanda tanoh tersebut sangat bergantung pada kondisi lingkungan dan juga ketentuan adat setempat. Ada tempat yang menetapkan jangka waktu gugurnya hak tanda tanoh setelah enam bulan atau sekali musim berladang.

Pemasangan tanda dong tanoh dilakukan sebagai Demberitahuan kepada umum dan untuk memastikan tanah yang kan dibuka tersebut tidak tumpang tindih dengan hak orang lain.

Dalam hal ini, untuk mencegah tumpang tindih hak tersebut, maka sebaiknya warga yang akan membuka tanah agar menghubungi peutua seuneubok atau keuchik untuk menanyakan tanah mana saja yang belum ditanda/ dibuka orang di kawasan hutan. Setelah itu barulah dia melakukan kegiatan pemasanngan tanda tanah.

Tatacara Pengelolaan Kayu Tualang (kayee uno)

Kayee uno merupakan sumber kehidupan penting dalamsiklus hidup manusia, hewan dan juga tumbuhan. Baik untuk kelestarian lingkungan, proses regenerasi/ produksi tanaman maupun sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, kayu tualang (kayee uno) termasuk tanaman yang dilindungi dalam adat Aceh dan pemanfaatannya di atur oleh adat.

Secara umum, pola pengelolaan kayee uno meliputi proses proses pengakuan hak dan tata cara pemanfaatannya. Biasanya, penemu membersihkan lingkungan kayu tualang/ kayee uno yang ditemukan di dalam hutan, kemudian melaporkan penemuan tersebut kepada keuchik/ Imuem Mukim untuk mendapatkan pengakuan hak sebagai penemu kayu tualang, Keuchik/ Imuem Mukim atau pengurus lembaga adat yang ditunjuk kemudian memeriksa keberadaan kayu tualang tersebut dan mengumumkan kepada warga, kalau ada pihak lain yang telah menemukan atau mengusahakan kayu tersebut terlebih dahulu.

Apabila tidak ada keberatan, maka keuchik/ Imuem Mukim kemudian menegaskan hak yang bersangkutan atas kayu tualang tersebut.

Tatacara mencari rotan

Kegiatan mencari rotan di dalam hutan hanya dibenarkan untuk warga mukim setempat. Sedangkan warga luar mukim harus mendapatkan izin dari lembaga mukim. Rotan yang berhasil dikumpulkan sebagian harus diserahkan kepada gampong/ mukim, sesuai dengan kesepakatan adat setempat.

Pada masa dahulu jumlah rotan yang menjadi hak gampong (wase gampong) adalah sebesar seper sepuluh dari jumlah rotan yang berhasil dikumpulkan.

Selanjutnya, tidak dibenarnya menarikan rotan dan atau membawa pulang rotan melewati kawasan sawah yang padinya sedang bunting (berisi).

Tatacara Berburu

Perburuaan satwa yang dibenarkan oleh adat meliputi: berburu rusa (meurusa) dan kijang (meuglueh). Waktu berburu harus diatur dan ditetapkan sesuai dengan adat setempat, dengan memperhatikan keberlangsungan perkembangbiakan hewan berburu. Oleh sebab itu kegiatan berburu tidak dibenarkan ketika rusa atau kijang dalam masa hamil atau anaknya masih kecil. Perburuan rusa yang dibenarkan adat adalah dengan menggunakan alat-alat tradisional, seperti taron (jerat), jaring dan tombak.

Kegiatan berburu dipimpin oleh seorang pawang dan mengikutsertakan warga gampong. Berburu rusa atau kijang dengan menggunakan senapan dan untuk tujuan mencari nafkah, bertentangan dengan nilai-nilai adat, yang mengedepankan kelestarian satwa tersebut.

Tatacara menangkap ikan di Sungai dalam Hutan

Menangkap ikan di dalam sungai di kawasan hutan mestilah dengan menggunakan alat-alat yang dibenarkan adat dan tidak menggunakan alat-alat/ bahan yang merusak. Alat alat yang dibenarkan adalah bubu, jala, tangguk dan sebagainya, sesuai dengan adat setempat.

Sebaliknya, alat-alat/ bahan untuk penangkapan ikan yang bersifat merusak lingkungan tidak boleh digunakan. Seperti menggunakan racun kimia dan kontak listrik.

Baca Juga :  MAA Aceh Nilai Peran Imum Mukim Dipandang Sebelah Mata

Tatacara Pemanfaatan Kayu untuk Kebutuhan Gampong

a. Warga gampong/ mukim sekitar hutan berhak atas kayu untuk kebutuhan pembuatan rumah.

b. Pemenuhan kebutuhan kayu untuk warga gampong di sekitar hutan harus sesuai dengan ketentuan/
kesepakatan yang berlaku di mukim tersebut.

c. Tiap mukim harus mendaftarkan hutan adatnya.

d. Hutan adat mukim terdiri dari hutan adat produksi (untuk kebutuhan lokal) dan hutan lindung mukim.

e. Luas hutan adat produksi dan konservasi ditentukan setelah melakukan kajian mendalam, dengan
mempertimbangkan aspek lingkungan dan kebutuhan masyarakat setempat.

f. Lembaga mukim menetapkan status hutan adat mukim (hutan adat produksi dan hutan adat konservasi), melalui musyawarah tokoh adat se mukim, kemudian mendaftarkannya kepad
pemerintah kabupaten/kota.

Tatacara pengajuan permohonan kebutuhan kayu rumah

a. Warga yang membutuhkan kayu untuk pembuatan rumah mengajukan permohonan kepada Imuem mukim melalui keuchik setempat, dengan menyebut jumlah kayu yang dibutuhkan.

b. Jumlah maksimal kayu yang boleh ditebang untuk setiap nwarga yang belum punya rumah adalah sebanyak 10 (sepuluh) kubik, atau untuk kebutuhan kayu rumah tipe 36.

c. Keuchik gampong meneruskan permohonan tersebut kepada imuem mukim.

d. Imuem mukim menugaskan panglima uteun untuk memeriksa lokasi hutan yang kayu boleh ditebang.

e. Imuem mukim kemudian mengeluarkan izin pengolahan kayu di hutan adat mukim setempat.

Tata cara Pembagian Manfaat

Pembagian manfaat yang diperoleh dari kawasan hutan mesti dimusyawarahkan dan diputuskan secara bersama-sama pada tingkat mukim. Besaran pembagian manfaat untuk masing-masing gampong dan lembaga mukim mestilah mempertimbangkan letak lokasi hutan, dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada gampong atau lembaga mukimyang bersangkutan.

Dengan demikian gampong yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan mendapat hak pembagian yang relatif lebih besar, dibandingkan dengan gampong lain yang tidak berbatasan langsung dengan hutan.

Karena pada gampong yang berbatasan dengan hutan mempunyai kewajiban yang lebih besar untuk mengawasi keselamatan hutan.

Pengawasan kawasan hutan

Pengawasan kawasan hutan dilakukan oleh lembaga mukim, dengan cara didelegasikan kepada masing-masing gampong di pinggiran hutan dan kepada panglima uteun.

Dalam hal ini, warga gampong di pinggiran hutan berkewajiban untuk memantau pergerakan orang dan juga kegiatan-kegiatan yang patut diduga akan merusak atau mengganggu kelestarian hutan.

Perlindungan kawasan hutan

Dalam rangka melestarikan kawasan hutan, perlu dihidupkan kembali ketentuan adat, antara lain:
a. Larangan menebang kayu tualang (kayee uno) atau kayu tempat lebah bersarang.
b. Larangan menebang kayu di kawasan sumber air/ mata air.
c. Larangan membuka hutan untuk kebun di kawasan hutan lindung adat.
d. Larangan meracun/ menuba ikan yang berada dalam lubuk (tuwi).
e. Larangan menebang pepohonan di sepanjang pinggiran sungai, alur (sungai keci), di puncak gunung dan di lereng/ jurang terjal.
Selanjutnya, pelanggaran terhadap larangan tersebut dikenakan sanksi adat, sesuai dengan ketentuan mukim/gampong setempat.

Bentuk-bentuk sanksi seperti: membayar denda adat dalam bentuk ganti rugi kerusakan, melaksanakan khanduri, membawa nasi ketan dan sebagainya, sesuai dengan ketentuan dan kesepakatan adat di mukim/gampong setempat.

Penyelesalan perselisihan

Perselisihan di dalam kawasan hutan ditangani dan diselesaikan oleh lembaga adat terkait, yaitu: Panglima Uteun untuk perselisihan berkaitan dengan berburu dan mengumpulkan hasil hutan dan Peutua seuneubok untuk perselisihan berkaitan dengan berladang/ berkebun di dalam kawasan hutan.

Nilai-nilai adat dalam pemanfaatan hutan

Berikut ini adalah beberapa nilai adat yang berkaitan dengan pengelolaan hutan:
a. Menjaga hutan dan pepohonan di sekitar sumber air/ mata air.
b. Menanam pepohonan yang berguna untuk manusia, hewan dan lingkungan..
c. Tidak menebang pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan oleh manusia dan hewan.
d. Menyerahkan sebagian hasil buruan (sekedarnya) kepada warga yang menyaksikan pembagian hasil buruan.
e. Kepemimpinan, dipilih secara musyawarah dan mendapat mandat/ pengakuan dari masyarakat, dengan mempertimbangkan kemampuan dan pengetahuan dari orang yang akan dipilih.
f. Memandang hutan sebagai sumber kehidupan masyarakat.
g. Pengambilan keputusan terkait dengan hutan harus melalui musyawarah tingkat mukim, turut serta panglima uteun.
h. Tidak boleh bersikap takabbur di dalam hutan.

Revitalisasi Adat Pengelolaan Hutan
Dalam rangka memperkuat kembali (revitalisasi) peran lembaga adat dalam pengelolaan hutan, baik di tingkat mukim maupun gampong, diperlukan upaya yang sistematis dan berkelanjutan, meliputi:

a. Menemukenali adat (aturan-aturan adat) pengelolaan.
b. Melakukan musyawarah se mukim, untuk membangun kesepakatan adat dalam hal pengelolaan hutan.
c. Pembentukan kembali lembaga panglima uteun.
d. Pengukuhan kembali adat pengelolaan hutan.
e. Penegakan hukum adat f. Pembuatan peta wilayah mukim dan hutan adat mukim.
8. Penegasan wilayah hutan adat mukim
h. Pendaftaran wilayah adat dan hutan adat mukim ke pemerintah kabupaten/kota.
i. Meningkatkan peran mukim dan panglima uteun dalam menyelesaikan perselisihan di kawasan hutan.
j. Meningkatkan kapasitas dan peran mukim dalam mengawasi pihak luar yang memanfaatkan kawasan hutan mukim tanpa persetujuan masyarakat mukim.
k. pemerintah daerah dan penegak hukum menjadi pra syarat penegakan adat (petua adat melakukan pendekatan).

Share :

Baca Juga

Pendidikan

Disdik Aceh Gelar Lomba Aceh Marching Band Championship-VI Tahun 2021

Pendidikan

SMP N 1 Bandar Baru Gelar Pelatihan AKM

Aceh Besar

Pemkab Aceh Besar Salurkan Bantuan Masa Panik untuk Korban Terdampak Kebakaran di Darul Imarah 

Pemerintah

Pemerintah Aceh Salurkan Beasiswa Anak Yatim Tahap I dan II

Daerah

Disdik Aceh Terapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Ciptakan Lingkungan Kerja Sehat

Nasional

Dua Putri Asal Aceh Barat mengukir prestasi Sains Pelajar Se-Indonesia

Sosial

Polda Aceh Salurkan 10 Ribu Paket Bansos untuk Masyarakat Terdampak Kenaikan BBM

Sosial

Tingkatkan Kesadaran Civitas, Abulytama Gelar Kegiatan Green Campus