NOA | Jakarta – Dalam berkas dakwaan terhadap Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, terkait kasus perobohan papan bunga yang disidangkan di PN Sukadana, Lampung Timur, Jaksa Penuntut Umum atau JPU mendakwa Ketum PPWI itu dengan pelanggaran pidana melakukan kekerasan dengan ancaman sebagaimana diatur dalam Pasal 335 ayat (1) Ke-1 KUHP. Bunyi Pasal 335 tersebut adalah: “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”. Atas pelanggaran pasal ini, terdakwa diancam pidana penjara selama 1 tahun atau denda sebesar Rp. 4.500,- (Empat ribu lima ratus rupiah).
Untuk meyakinkan Majelis Hakim yang memeriksa kasus tersebut, JPU menghadirkan 2 orang ahli, yakni ahli pidana dari Universitas Negeri Lampung, Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., dan ahli psikologi Octa Reny Setiawati, S.Psi, M.Psi. Sebagaimana telah diberitakan terdahulu, ternyata Eddy Rifai dilibatkan sebagai ahli pidana pada perkara ini karena yang bersangkutan adalah mantan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lampung, yang diduga ditugaskan sebagai pion dalam program kriminalisasi terhadap Wilson Lalengke dan rekannya, Edi Suryadi dan Sunarso, sesuai pesanan DP (Dewan-pers Pecundang) dan PWI.
Sekaitan dengan itu, maka dapat disimpulkan bahwa keterangan Eddy Rifai sarat dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya sehingga cenderung subyektif. “Namun demikian, kami tetap menghargai dan berterima kasih atas keterangan ahli pidana Eddy Rifai terkait pendapatnya soal Pasal 406 KUHP (pengrusakan – red) yang tidak memenuhi unsur dalam kasus perobohan papan bunga di Mapolres Lampung Timur beberapa waktu lalu,” jelas Advokat Ujang Kosasih, S.H., Ketua Tim PH Wilson Lalengke, didampingi koleganya, Advokat Heryanrico Silitonga, S.H., T.L.A., C.LA. beberapa waktu lalu.
Pihak PH terdakwa juga berterima kasih kepada ahli pidana itu yang dalam keterangannya menegaskan bahwa semua kesaksian yang didasarkan pada video yang diperlihatkan penyidik maupun JPU harus dikesampingkan karena tidak dapat dipakai sebagai alat bukti, dan video itu harus diuji melalui digital forensik. “Ahli pidana itu juga menolak untuk melihat videonya saat JPU mau memutarkan di persidangan, dia sependapat dengan kami PH yang sejak persidangan pertama sudah menolak video-video itu karena belum melalui uji digital forensik, dan kami selalu keluar ruangan sidang saat JPU akan memutar videonya,” jelas Advokat Ujang Kosasih, Jumat, 10 Juni 2022, kepada media ini.
Beralih ke masalah Pasal 335 KUHP, ahli pidana Eddy Rifai menyampaikan bahwa menurut pendapatnya, Wilson Lalengke telah melakukan tindak pidana memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu, karena memanggil polisi Syarifudin bin Ahmad Junaidi dan memberikan pertanyaan. “Pelaku tidak mempunyai hak, tidak berhak atau bertentangan dengan hak-hak orang lain, dalam hal ini perbuatan Wilson Lalengke tidak mempunyai hak bertanya kepada Syarifudin (yang mempunyai hak adalah pimpinan Syarifudin),” jelas Eddy Rifai dalam BAP dan keterangannya di persidangan.
Selain itu, Eddy Rifai juga mengatakan bahwa ada unsur ancaman kekerasan terhadap Syarifudin saat alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 Wilson Lalengke memanggil dan menanyai yang bersangkutan. “Wilson Lalengke telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan yang membuat saudara Syarifudin terpaksa untuk tidak melakukan sesuatu dan akhirnya meninggalkan tempat tersebut serta berdasarkan keterangan Ahli Psikologi menyatakan bahwa saudara Syarifudin mengalami trauma psikis,” urai Eddy Rifai dalam BAP dan diucapkannya juga di persidangan, Senin, 6 Juni 2022 lalu.
Sementara itu, ahli psikologi Octa Reny Setiawati dalam keterangannya di persidangan, Selasa, 7 Juni 2022, menyatakan bahwa pasiennya bernama Syarifudin mengalami stress sedang, belum mencapai tingkat stress berat. “Artinya, stress ini masih dalam tahap normal, dia masih bisa beraktivitas seperti biasa. Namun perlu penanganan agar tidak berlanjut ke stress berat,” jelas Octa Reny Setiawati dalam persidangan yang dilangsungkan secara online, karena yang bersangkutan tidak bisa hadir langsung di ruang sidang.
Terkait penyebab stress sedang yang dialami Syarifudin yang merupakan pelapor dalam kasus perobohan papan bunga itu, Psikolog Octa Reny Setiawati menyatakan bahwa pasien Syarifudin stress karena dipanggil dan ditanyai Wilson Lalengke bersama rombongannya pada saat kejadian, Jumat, 11 Maret 2022. “Iya, korban Syarifudin mengalami stress karena kejadian dipanggil dan ditanyai Wilson Lalengke bersama rombongannya yang ramai pada saat kejadian. Jadi dia tidak ingin berada di tengah keramaian, dan cenderung menghindari kegiatan sosial,” jelas Octa Reny Setiawati.
Saat dimintai komentarnya terkait keterangan kedua ahli dari JPU itu berkenaan dengan Pasal 335 KUHP tentang kekerasan dengan ancaman, PH Wilson Lalengke, Advokat Ujang Kosasih mengatakan bahwa keterangan kedua ahli ini sangat diragukan kebenarannya. Menurutnya, keterangan ahli psikologi masihcukup relevan, namun untuk ahli pidana, ini teramat jauh dari fakta sesungguhnya, unsur-unsur pidananya terlalu dipaksakan.
“Dalam BAP Syarifudin saja, tiga kali dia diperiksa penyidik, tiga kali juga dia mengawali keterangannya dengan mengatakan bahwa: ‘Ya, saat ini saya dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.’ Dia diperiksa pertama kali pada hari Jumat, 11 Maret 2022, pukul 23.00 wib; kedua pada Senin, 14 Maret 2022, pukul 13.00 wib; dan ketiga pada Rabu, 30 Maret 2022, pukul 10.00 wib. Pada kurun waktu itu Syarifudin sehat jasmani dan rohani,” jelas advokat dari Baduy, Banten itu.
Juga berdasarkan keseluruhan keterangan Syarifudin di BAP-nya, tambah Ujang Kosasih, tidak ada satupun keterangannya yang mengindikasikan dia menderita stress atau sejenisnya, apalagi menunjukkan gejala trauma psikis. “Dari 41 pertanyaan dalam BAP Syarifudin, tidak ada satupun keterangan atau jawaban yang bersangkutan, baik tersurat maupun tersirat, yang dapat diasosiasikan dengan keadaan menderita stress, apalagi divonis menderita trauma psikis,” beber advokat yang banyak membantu masyarakat ekonomi lemah yang bermasalah hukum.
Oleh karena itu, demikian Ujang Kosasih, keterangan kedua ahli tersebut dapat disimpulkan bertolak-belakang dengan keadaan sesungguhnya. “Jika dihubungkan dengan keterangan saksi Syarifudin di persidangan, mungkin ada benarnya. Tapi kesaksiannya di persidangan itu bertentangan dengan isi BAP, sehingga Syarifudin diduga kuat telah melakukan kebohongan. Makanya Majelis Hakim memerintahkan JPU untuk menghadirkan saksi verbalisan, yakni para penyidik, dalam persidangan berikutnya,” tegasnya mengakhiri pernyataannya. (TIM/Red)