Singkronisasi Kebijakan Pengelolaan Rawa Tripa Dalam Skema Memperkuat Investasi di Aceh - NOA.co.id
https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3737086233511293
   

Home / Opini

Senin, 16 September 2024 - 10:41 WIB

Singkronisasi Kebijakan Pengelolaan Rawa Tripa Dalam Skema Memperkuat Investasi di Aceh

REDAKSI

Penulis: Direktur Eksekutif Perkumpulan Forum Bangun Investasi Aceh (For-Bina) Muhammad Nur.S.H

Penulis: Direktur Eksekutif Perkumpulan Forum Bangun Investasi Aceh (For-Bina) Muhammad Nur.S.H

Sejak tahun era 1970 hingga 1980 an, sebagian besar rawa tripa gambut sudah menjadi kawasan hak pengeloalan hutan atau disingkat HPH, kemudian pasca berkahirnya izin HPH di tahun 1990 ada lima perusahaan mendapatkan konsesi HGU untuk perkebunan kelapa sawit, diantaranya PT Kalista Alam, PT Gelora Sawita Makmur, PT Dua Perkasa Lestari, PT Cemerlang Abadi dan PT Agra Para Citra, artinya ada sekitar 38.565 hektar perusahaan mendapatkan alas hak garap atas tanah tersebut sejak dulu hingga tahun izin berlaku.

Direktur Eksekutiif Forbina mendorong Perkebunan yang ada di Aceh berkomitmen menjaga, mengelola dan melestarikan spot spot rawa yang kedalam diatas 3 meter untuk tidak melakukan penanam sawit dalam HGU, sehingga tetap dapat terjaga dengan baik sebagai kubah gambut yang mudah terbakar sewaktu-waktu dengan tidak membangun skat kanal kanal yang menyebabkan rawa kering. Artinya kebijakan rawa lindung atau budidaya akan di tindaklanjuti sesuai arahan kebijakan yang ada. Untuk itu penting bagi semua pihak untuk tidak meminta pencabutan izin atau pembekuan izin hanya gara gara salah dalam menterjemah kebijakan, semuanya butuh proses dan waktu untuk mendorong perbaikan tatakelola perkebunan dan memperkuat plasma juga butuh support dan dukungan pemerintah dan masyarakat setempat.

Sekalipun dalam kebijakan Qanun RTRW Aceh No 19 tahun 2013 Tentang Rencana Tataruang Wilayah Aceh 2013-2033 Pasal 31 Ayat 1 rencana pola ruang terdiri dari kawasan lindung 2,938.579,68 Ha dan Budidaya 2.949.506,83 ha, demikian halnya dengan Pasal 32 yang meliputi kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan cagar budaya, hingga pasal 35 tak harusnya mempertegas posisi rawan tripa sebagai lindung gambut. Itu artinya butuh singkronsasi saja terkait kebijakan terhadap investasi di Aceh, selain itu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: 859/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2016 tanggal 11 November 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.865 /Menhut-II/2014 Tentang Kawasan Hutan Aceh dan Konservasi Perairan Provinsi Aceh disebutkan bahwa Provinsi Aceh memiliki total luas Kawasan Hutan dan Konservasi seluas 3.563.813 ha yang terdiri dari Wilayah Konservasi Daratan 1.057.628 ha, Hutan Lindung (HL) 1.794.350 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 145.384 ha, Hutan Produksi (HP) 551.073 ha, Hutan Produksi Konversi (HPK) 15.378 ha. Jelas dan tegas SK ini pun tidak mengakomodir rawa Tripa sebagai lindung gambut, maka dipertanyakan apa dasar pikir HGU dituduh sebagai perusak rawa tripa, karena statusnya HGU di APL bukan dalam kawasan hutan

Baca Juga :  Harapan Wali Nanggroe Makbul

Semua pihak terutama pihak strategis menghormati dan membaca Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Nasional Tahun 2020-2049 telah dituang dalam putusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor.SK.246/MENLHK/SETJEN/KUM,1/6/2020, dimana dalam tabel 3. Sebaran kawasan lindung gambut seluas 178.630,0 ha ada di Aceh. Artinya luas ini tidak di akomodir secara tegas dalam RTW Aceh No 19 tahun 2013-2033 lalu, sehingga kami minta dalam revisi kebijakan RTRW Aceh yang baru nanti mengakomodir spot spot lindung gambut sehingga dapat penjelasan lebih rinci dan detail lokasi yang dimaksud, karena para pemilik perkebunan sebagai pelaku bisnis kita pahami bersama bahwa lokasi merupakan ruang menanam sawit dan plasma, dan seiring waktu kebijakan yang begitu banyak terbit membutuhkan waktu dan proses mengakomodir tuntutan parapihak strategis, tentu dapat mengganggu investasi di Aceh daerah yang sedang membutuhkan pembangunan sebagai provinsi termiskin di Aceh dengan jumlah angka penggangguran mencapai 136 jiwa lebih, lebih dari 2 jt penduduk Aceh sangat tergantung pada sektor pertanian dan perkebunan dan nelayan.

Karena didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut mengamanatkan perlunya disusun sebuah Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang selanjutnya disingkat RPPEG adalah sebuah dokumen perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah Ekosistem Gambut, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.

Baca Juga :  Murid Bukan Gelas Kosong

Dikatakan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) merupakan sebuah upaya corrective action dalam pengelolaan ekosistem gambut. Indonesia pernah mengalami kebarakaran hutan dan lahan gambut pada tahun 2015 lalu yang mencapai 2,6 juta hektar di Indonesia. Hal ini merupakan bukti dari salah urusnya pengelolaan ekosistem gambut. Pembukaan lahan gambut secara masif disertai pembuatan saluran drainase menyebabkan lahan gambut menjadi kering dan mudah terbakar.

RPPEG diharapkan mampu mencegah terjadinya kerusakan ekosistem gambut melalui tata kelola ekosistem gambut yang baik. RPPEG mengarahkan agar perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut dilakukan secara sistematis, harmonis, dan sinergis dengan berbagai perencanaan pembangunan lainnya, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN), dan rencana strategis atau sektoral lainnya, baik di level pusat maupun daerah.

Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut disusun sesuai dengan level kewenangan, meliputi RPPEG nasional oleh Menteri, RPPEG provinsi oleh Gubernur, dan RPPEG kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota. Proses penyusunan RPPEG bersifat hirarkis dimana proses penyusunan pada level di bawah mengacu pada dokumen perencanaan.

Materi dan muatan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut mencakup pemanfaatan Ekosistem Gambut, pengendalian Ekosistem Gambut, pemeliharaan Ekosistem Gambut, serta adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

Dalam tahapan perencanaan, langkah pertama yang dilakukan dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut adalah inventarisasi ekosistem gambut yang diikuti dengan penetapan fungsi ekosistem gambut menjadi fungsi lindung ekosistem gambut dan fungsi budidaya ekosistem gambut. Peta fungsi ekosistem gambut dan kondisi eksisting pemanfaatan ekosistem gambut akan memberikan implikasi dan permasalahan yang dapat berpengaruh terhadap pemanfaatan ekosistem gambut yang dilakukan oleh berbagai sektor, daerah dan masyarakat.

Baca Juga :  Memperbanyak Shalawat di Bulan Rabi'ul Awwal

Berkaitan dengan hal tersebut, rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut mesti mengakomodir berbagai kepentingan (sosial, ekonomi dan lingkungan) dengan memperhatikan keragaman karakter dan fungsi ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumber daya alam, kearifan lokal, aspirasi masyarakat, perubahan iklim, dan rencana tata ruang wilayah untuk menjamin kelestarian fungsi ekosistem gambut yang dapat menunjang kehidupan baik generasi sekarang maupun generasi yang datang.

Didalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut mengamanatkan disusunnya pedoman tata cara penyusunan, penetapan dan perubahan RPPEG. Pedoman tersebut bertujuan untuk memberikan acuan dalam penyusunan, penetapan, perubahan RPPEG, pemantauan dan evaluasi, serta pembiayaan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut, Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan sedang menyusun rancangan peraturan Menteri LHK tentang pedoman tata cara penyusunan, penetapan dan perubahan RPPEG.

Nomor SK.130/MENLHK/SETJEN/PKL.0/2/2017, Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut sedang menyusun RPPEG Nasional. Hal ini sekaligus sebagai exercise implementasi dari rancangan peraturan Menteri LHK tentang pedoman tata cara penyusunan, penetapan dan perubahan RPPEG. Tahapan penyusunan RPPEG dilakukan melalui pengumpulan data dan informasi, pengolahan dan analisis data, serta penyusunan potensi, permasalahan, arahan kebijakan, strategi, program, dan kegiatan tentang pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, serta adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim dari Ekosistem Gambut.

Berdasarkan catatan diatas penting bagi semua pihak strategis memahami bahwa rawa tripa sebagai kawasan yang dibagi menjadi budidaya dan lindung gambut butuh perhatian dari perusahaan ada telah ada, baik itu PT SPS, maupun Kalista Alam untuk merawat gambut yang kedalam tertentu, serta kebijakan pemerintah baik sifatnya khusus maupun umum dalam mengatur perbaikan tatakelola perkebunan maupun lahan bagi pertanian warga sehingga semua berangkat dari penilaian objektif yang saling menguntungkan sebagai bagian dari pembangunan yang telah ada di daerah.

Editor: Amiruddin. MK

Share :

Baca Juga

Opini

Usulan DPRK Abdya Sangat Representatif, Kemendagri Mohon Hormati

Daerah

Melodi Lahan Seluas 276 hektare

Opini

Permainan Menghebohkan

Nasional

Pastikan Kita Punya Urgensi Dan Alasan Yang Kuat Untuk Mengubah Sistem Pemilu

Opini

Pembelajaran Bermakna dengan Memanfaatkan Aplikasi Digital

Opini

Dua Gerbang Keluar Masuk Aceh

Opini

Ziarah Kubur dan Keutamaan Mengunjungi Handai Taulan

Opini

Bagaimana Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan?

You cannot copy content of this page

error: Content is protected !!