Aku pernah punya jas sekaligus dasi. Kemana-mana ciri dua status sosial ini ku selalu ku bawa. Ada tambahan lain, sepatu mengkilat dan mobil terbaru.
“Kandidat kita datang,” teriak beberapa orang yang pakai sandal jepit ketika mobilku berhenti di sebuah warung pinggir jalan.
Mereka menyambut dan tak luput mencium tanganku. Ada yang menepuk bahu seolah-olah bangga dengan diri ku.
“Hebat, bapak Kandidat telah berkunjung ke kampung kami,” seorang berkepala botak seperti profesor merangkul ku.
“Kami senang,” lanjutnya sambil menyilahkan aku masuk warung.
“Tenang, pesan saja kopi,” bapak Kandidat yang bayar, aku menunjuk diri.
“Bodohnya mereka,” kutukku dalam hati.
“Aku hanya datang sekali lima tahun mau saja kalian ku tipu,” aku sempat terkekeh, namun cepat-cepat aku menyembunyikan ketawaku.
Baju jas dan dasi, sepatu mengkilat dan mobil terbaruku telah menghipnotis mereka.
Di pojok, seorang anak muda kerempeng dengan gajetnya tidak menghiraukan kehadiranku. Ia asyik dengan tatapannya di benda setapak tangan itu.
Aku menghampirinya. “Bagaimana, anak muda,” aku mendekat.
“Kalau ada maunya, begitu,” sindirnya tajam.
Sebagai Kandidat yang telah banyak makan asam garam, aku tidak boleh tersinggung apalagi marah. Aku hanya senyum-senyum saja.
“Nanti ganti gajetnya, biar bapak yang beli,” aku langsung tawarkan tanpa basa-basi
Kulihat ia sempat terkejut dan air mukanya berubah.
“Sudahlah, nanti malam ke rumah ya.”
Ia pun mengangguk. Aku tahu, mustahil ayam menolak padi.
Penulis : Kas Pani