Banda Aceh – Pembahasan draft revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau di Aceh dikenal UUPA diminta untuk tidak dilakukan dengan tergesa-gesa. Tim yang dibentuk untuk mengadvokasi perubahan ini juga diminta mengawal secara ketat agar tidak ada persyaratan yang dapat melemahkan UU tersebut.
Demikian sepenggal kesimpulan hasil diskusi dalam sosialisasi draft perubahan UUPA yang berlangsung di Pidie Jaya, Senin, 6 Maret 2023 pukul 10.00 WIB kemarin. Sosialisasi ini langsung dibuka oleh Koordinator Tim Advokasi Zona II UUPA, H Dalimi, SE, Ak, CA–yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPR Aceh.
Hadir dalam sosialisasi ini Sekretaris Tim Sosialisasi UUPA Zona II, M Rizal Falevi Kirani, Syakya Meirizal, T. M. Nurlif, Tgk Anwar, dan Juanda Djamal.
Ikut serta dalam sosialisasi seperti Bupati Pidie Jaya Ketua DPRK Pidie Jaya, Wakil Ketua DPRK Pidie Jaya, Kapolres Pidie Jaya, Kajari Pidie Jaya, Dandim Pidie Jaya, Ketua MPU Pidie Jaya, Ketua HUDA, Ketua MAA, Ketua MPD,Ketua Komisi A, Asisten I Bidang Pemerintahan, dan Keistimewaan Aceh.
“Saya menyarankan agar draft revisi UUPA ini jangan buru-buru dibahas agar kabupaten kota juga bisa membentuk tim untuk membahas UUPA yang nantinya akan disampaikan ke DPRA,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Jabal Ghafur, Amzar.
Dia menyebutkan lahirnya UU Cipta Kerja juga dikhawatirkan akan mengganggu Pasal 163 UUPA tentang Investasi. Hal ini menurutnya perlu mendapat perhatian dari seluruh masyarakat Aceh agar kewenangan tersebut tidak lagi digerus oleh Pemerintah Pusat.
“Kalau kita tidak memperkuat kewenangan ini terkait dengan perizinan Pemerintah Aceh, maka ini akan kita lepas lagi,” tegas Amzar.
Amzar mengatakan Tata Cara Turunan UUPA juga perlu diperkuat lantaran sewaktu-waktu dapat diubah oleh Pemerintah Pusat.
Dalam sosialisasi tersebut, Ketua PGRI Pidie Jaya, Taufik, juga menyorot Pasal 18 dalam draft revisi UUPA yang menyebutkan Aceh tidak perlu mengikuti standar nasional. Menurutnya hal ini menjadi rancu terutama untuk bidang pendidikan lantaran Aceh masih memiliki lembaga pendidikan seperti Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Aliyah yang tunduk pada standar nasional.
Sementara Nazaruddin yang juga dosen FH Unigha mengatakan jika dikaji secara hukum, banyak isi UUPA yang harus diganti. Dia mengajak semua pihak agar memahami substansi pasal demi pasal lantaran yang dibahas saat ini adalah undang-undang bukan Qanun Aceh.
“Seharusnya kita kawal dari awal sampai akhir, jangan dianggap sepele,” kata Nazaruddin.
Dia juga menyebutkan wewenang yang dicantumkan dalam UUPA nantinya juga tidak boleh bersyarat sehingga tidak menjadi kelemahan bagi Aceh. “Kalau bersyarat, apapun Pasal UUPA itu tidak berjalan, maka tugas dari DPRA ini harus menjaga dan melihat agar undang-undang ini tidak bersyarat sehingga UUPA bisa dijalankan sebagaimana mestinya,” lanjut Nazaruddin.
Sebelumnya saat pembukaan kegiatan, Dalimi mengatakan UUPA perlu dilakukan penyesuaian dan perubahan sesuai dengan kondisi terkini. UU yang telah berjalan lebih kurang 17 tahun tersebut sebenarnya sudah kerap disuarakan untuk direvisi. Namun, rencana itu baru dilakukan setahun terakhir setelah DPR RI memasukkan revisi UUPA dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023.
“Sebelum melakukan revisi tersebut, DPR RI harus terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan DPRA,” kata Dalimi.
Terdapat beberapa pertimbangan yang membuat UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh ini perlu direvisi. Pertama, revisi UUPA dilaksanakan karena adanya tinjauan politis pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berdampak kepada undang-undang hasil kesepakatan damai tersebut.
Poin putusan MK yang disebut berdampak pada perubahan UUPA tersebut adalah Keputusan MK Nomor 30/PU-VIII/2010 yang berimbas pada Pasal 256 UU No. 11 Tahun 2006 terkait calon perseorangan. Selanjutnya keputusan MK Nomor 51/PU-XIV/2016 yang mematahkan ketentuan dalam Pasal 67 ayat (2) huruf b UUPA terkait calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota harus memenuhi persyaratan tidak pernah dihukum tindak pidana kejahatan dan seterusnya.
Revisi UUPA juga perlu dilakukan lantaran putusan MK lainnya yang turut berimbas negatif bagi undang-undang tersebut.
Sementara Sekretaris Tim Sosialiasi Zona II, M Rizal Falevi Kirani mengatakan draft revisi ini merupakan hasil kajian yang belum sempurna karena dikerjakan dalam waktu singkat. Hal inilah yang menurutnya perlu mendapat saran dan masukan dari seluruh masyarakat Aceh di 23 kabupaten dan kota agar kewenangan daerah dapat dipertahankan dalam UUPA.
“Masukan inilah yang akan kita tampung bersama sehingga akan kita tuangkan dalam draft revisi,” ujar M Rizal Falevi Kirani yang juga mengatakan masukan juga akan ditampung melalui email khusus DPRA. [Parlementaria]