Penulis: Rusdianto Samawa
Sejak 2017 pertama kali datang hingga pertengahan tahun 2022 ini, mengamati Dusun Jampu – Jampu Desa Watu Toa serasa kita kembali pada masa – masa dulu. Hutan lebat, pohon – pohon kayu menjulang tinggi. Jenis kayunya Pinus, cengkeh, kemiri, dan lainnya. Jampu – Jampu masuk kawasan hutan lindung sosial ekonomi yang bisa diberdayakan masyarakat.
Masyarakat Desa Watu Toa, kehidupan sekitar adem sekali. Karakter masyarakat ramah, moderat, alim, prestasi dalam meningkatkan kehidupan beragamanya. Intensitas hujan setiap hari sangat tinggi. Daerah dingin.
Banyak pendatang ke Desa Watu Toa khusus Jampu – Jampu, Jolle, dan lainnya mengalami sakit ringan flu dan demam. Karena tak bisa tahan dingin dan hujan tanpa musim. Tentu, ukurannya kalau staycation lama.
Pegunungan Jampu – Jampu dan Jolle mestinya menjadi prioritas pemerintah Kabupaten Soppeng untuk dikembangkan dalam berbagai sektor. Beberapa sektor yang mendesak yakni pariwisata (Daerah/Desa Wisata) dan hasil bumi diantaranya cengkeh, sayur mayur, buah naga, cokelat, kemiri, padi dan jahe untuk di jadikan produk UMKM yang lebih bernilai tinggi.
Potensi wisata sangat menjanjikan. Prediksi memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat setempat. Tentu basis wisata yang harus dikembangkan sesuai kearifan lokal. Lokasi wisata sangat tepat, berada ditengah – tengah. Jalan poros Jolle – Kabupaten Barru bisa tersambung melewati pegunungan tembus jalan buludua.
Hal itu, sudah pantas menjadi perhatian pemerintah Kabupaten Soppeng dan/atau Provinsi Sulawesi Selatan. Watu Toa berada ditengah – tengah. Perkembangan wisata justru di daerah yang sangat jauh dari keterjangkauan masyarakat Soppeng yang berada disebelah Utara dan Barat, misalnya wisata permandian air panas Lejja – Lejja harus menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam bagi masyarakat Takalala dan Marioriwawo.
Begitu juga, wisata kolam renang bulu dua Kabupaten Barru, harus menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam dari Takalala dan Marioriwawo. Demikian juga, tempat wisata lainnya di Kabupaten Soppeng wilayah Timur semakin jauh.
Potensi wisata yang dikembangkan dalam model bisnis (agrobisnis) berbasis wisata sesuai kearifan lokal akan menjadi tolak ukur kebahagiaan masyarakat Desa Watu Toa dan sekitarnya. Pasalnya, lahan sangat luas. Konstruksi pemukiman rumah penduduk masih alami bermodel rumah panggung dengan segala macam ukiran dan ukuran yang penuh sejarah latar belakang.
Pelajari sejarah rumah panggung Sulawesi, penuh kesejarahan yang diwarisi hingga sekarang. Rumah panggung merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda dulu, mendidik agar membangun rumah – rumah dari batu. Bagi masyarakat yang membangun rumah batu (batu bata) dianggap orang kaya baru.
Padahal, penjajahan Belanda dulu memiliki maksud tertentu agar masyarakat tetap dianggap kaya dan pemahaman yang keliru. Karena Sulawesi (Nusa Tenggara) merupakan wilayah garis gempa yang lumayan panjang dan terdapatnya banyak gunung berapi. Tentu, rumah batu mudah dibangun, biaya kecil dan dianggap kaya raya. Tetapi sekali digoyang gempa berskala tinggi langsung roboh. Kemudian, bangun lagi. Tentu energi masyarakat dan pemerintah sangat tinggi dalam melayani dan membangun.
Namun, demikian karakter mental perlawanan rakyat Sulawesi agar tidak serta merta meniru membangun rumah batu dan tetap bertahan khas rumah panggung. Karena hanya rumah panggung yang mampu mengikuti goyangan gempa walaupun berkekuatan tinggi.
Konsep masyarakat Sulawesi, utamanya Desa Watu Toa harus tetap menjaga budaya rumah panggung tanpa harus merasa miskin. Karena penilaian terhadap rumah panggung sangat elegan, elit dan pembiayaannya sangat tinggi. Tentu bagi masyarakat Desa Watu Toa pasaran harga rumah panggung siap pakai berkisar mulai Rp 50 juta – 5 miliar dengan segala bentuk dan macam ukiran.
Model dan macam rumah panggung bisa menjadi penarik wisata. Selain dari hasil bumi yang menjamin agrowisata berkembang. Juga artefak sejarah, kuburan wali, kesultanan, hingga benda – benda keramat peninggalan pejuang terdahulu.
Apalagi pegunungan Jampu – Jampu, Jolle maupun Lagoci dipenuhi pohon Pinus, cengkeh, Cemara, Jati, kelapa, padi, pisang, ubi, dan lainnya. Tanaman penghasil petani juga tak kalah banyak seperti jahe, cengkeh, buah naga, sayu mayur dan cokelat. Daerah dingin ini, masih sangat alami. Penjagaan masyarakat terhadap hutan sangat tertib, kuat dan semangat agar lingkungan hutan terjaga asri dan dipastikan tidak ada ilegal loging.
Keramahan masyarakat sungguh menakjubkan. Rasa aman tercipta. Cuma kaum muda masih keterbatasan langkah kembangkan pribadi maupun lingkungannya. Sikap pekerja keras sebagai petani, pelajar dan pendidik terlihat rapi. Sumberdaya manusia berkembang baik sekali. Pelayanan birokrasi pemerintah sangat terbuka.
Perlu menjadi catatan penting; pemerintah Kabupaten Soppeng harus kerja keras memasang lampu – lampu jalan disepanjang pelosok Desa Watu Toa. Karena, jalan poros Jampu – Jampu – Jolle – Lagoci merupakan jalan aktif berkendara: mobil travel, angkot (pete-pete), hingga motor – motor petani.
Selain itu, pemerintah Soppeng perlu perhatikan infrastruktur jalan raya agar diperbaiki atas kerusakan dibeberapa jalur. Karena terlihat sulit sekali berkendara dalam kondisi menanjak akibat kerusakan. Dengan demikian, ketika program agrowisata dikembangkan. Maka bukan saja pemerintah yang mengambil manfaat. Tetapi masyarakat juga bisa menikmatinya. (RS)