Menurut dia, Indonesia bisa menikmati setidaknya Rp750 triliun dari sektor kelapa sawit. Sekitar Rp500 triliun dari nilai ekonomi itu dihasilkan dari ekspor minyak sawit dan turunannya.
“Bisa dibilang kita adalah net eksportir minyak nabati dan turunan CPO (crude palm oil/ minyak sawit mentah). Jika sudah begitu potensinya, pendataan mesti kita benar-benar lakukan. Mulai dari hulu di kebun hingga pengolahan CPO, RBDP olein, dan RBDP oil. Juga biofuel, oleochemical, hingga oleofood,” paparnya di Jakarta, dikutip Selasa (31/5/2022).
Baca juga: Luhut Usul Perusahaan Sawit Wajib Ngantor di RI, Ternyata Ini Manfaatnya
Maka dari itu, sambung Putu, pendataan menyeluruh dibutuhkan untuk mengetahui neraca persawitan di Indonesia. Termasuk, mewajibkan perusahaan berkantor pusat di Indonesia. “Kalau kita bisa dapat neracanya dan juga kalau perusahaannya di Indonesia, pajaknya kita dapat,” tukasnya.
Selain itu, Putu juga menilai bahwa rencana Menko Marves melakukan audit besar-besaran pada sektor sawit hingga mewajibkan kantor pusat di Indonesia akan membuka peluang Indonesia mendapat nilai tambah lebih dari industri sawit.
“Kita bisa dapat nilai tambah lebih banyak. Kalau headquarter-nya di sini kan akan beda. Sebagai gambaran, tahun 2021, kita mendapat Rp86 triliun dari pungutan ekspor sawit dan dari pajak-pajaknya sekitar Rp20-an triliun. Jadi, lebih Rp100 triliun. Ya tentu akan bertambah (kalau kantor pusat diwajibkan di Indonesia),” tuturnya.