Banda Aceh – Koordinator koalisi pemuda dan mahasiswa Aceh, Marisi Saputra menyayangkan adanya kritik dari beberapa pihak yang dinilai tidak memahami aturan mengenai penanganan pengungsi Rohingya. Ia menegaskan bahwa Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Aceh, Meurah Budiman masih bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku dan tetap on the track dalam menjalankan tugasnya, Rabu.
Marisi menilai, banyak pihak yang asal berkomentar tanpa memahami aturan hukum yang jelas, terutama terkait masalah keimigrasian.
“Ada organisasi yang langsung mengkritisi kinerja Kemenkumham Aceh padahal tidak tahu dan paham aturan. Mereka perlu membaca aturan terkait keimigrasian dan penanganan pengungsi Rohingya yang diatur dalam Perpres 125/2016,” Kata Marisi 23 Oktober 2024.
Marisi menjelaskan bahwa kewenangan terhadap pengungsi Rohingya dibagi sesuai dengan tahapan kondisi mereka.
“Jika pengungsi masih berada di kapal di laut, itu adalah kewenangan Aparat Penegak Hukum (APH). Jika sudah berada di daratan, tanggung jawab penempatan ada di tangan pemerintah kabupaten atau provinsi, sesuai dengan Perpres 125/2016,” tegas Marisi.
Untuk penanganan keamanan, lanjutnya, Polri dan TNI bertanggung jawab, sementara proses pendataan dan verifikasi dokumen dilakukan oleh Imigrasi Meulaboh.
Selain itu, Marisi juga mengungkapkan bahwa penyediaan makanan dan kebutuhan lainnya dilakukan oleh lembaga internasional seperti UNHCR dan IOM.
“Selama ini, penanganan pengungsi Rohingya di Aceh sudah dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku. Jadi, sangat disayangkan ada pihak-pihak yang hanya mencari panggung tanpa memahami aturan hukum,” katanya.
Lebih lanjut, Marisi menyoroti bahwa di Aceh belum tersedia Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim).
“Rudenim hanya digunakan bagi WNA yang memiliki dokumen perjalanan, seperti paspor, untuk dikembalikan ke negara asalnya. Sementara itu, pengungsi Rohingya tidak memiliki dokumen tersebut. Mereka hanya membawa kartu UNHCR dari tempat penampungan di Cox’s Bazar, Bangladesh,” jelasnya.
Saat ini, Aceh menampung lebih dari 500 pengungsi Rohingya di tempat penampungan sementara, seperti bekas Kantor Imigrasi di Lhokseumawe. Sebelumnya, beberapa kali telah dilakukan pemindahan pengungsi ke Riau dan Makassar. Namun, sebagian besar dari mereka kabur ke Medan, Riau, dan bahkan Malaysia yang menjadi negara tujuan utama pelarian mereka.
Marisi menegaskan bahwa kewenangan penanganan pengungsi Rohingya diatur dengan jelas dalam Perpres 125/2016, khususnya pasal-pasal yang mengatur peran Pemerintah Daerah. Pasal 24 hingga Pasal 26 menjelaskan bahwa Pemda wajib berkoordinasi dengan Rudenim untuk membawa dan menempatkan pengungsi di tempat yang telah ditetapkan oleh bupati atau wali kota.
Lebih jauh, pasal 26 ayat (6) menekankan bahwa Pemda harus menyediakan fasilitas kesehatan dan ibadah bagi pengungsi. Namun, kondisi di Aceh saat ini belum memungkinkan sepenuhnya karena belum adanya Rudenim.
Menurut Marisi, upaya pemerintah Aceh dalam menangani pengungsi Rohingya sudah sesuai dengan aturan yang berlaku, dan kritik yang tidak berdasar hanya akan menghambat penanganan yang lebih baik. Ia berharap agar pihak-pihak yang memberikan kritik lebih memahami substansi peraturan sebelum berkomentar.
“Fokus utama kita harus pada penanganan yang tepat, bukan pada isu-isu yang tidak relevan. Kakanwil Kemenkumham Aceh, Meurah Budiman, telah bekerja sesuai aturan dan tidak ada yang perlu dipersoalkan dari kinerjanya,” tutup Marisi.
Editor: Amiruddin. MK