Subulussalam – Tim Advokasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau UUPA diminta untuk berupaya memperjuangkan dana otonomi khusus Aceh tetap diberikan 2% oleh Pemerintah Pusat. Bahkan, Aceh juga dianggap berhak mendapat dana Otsus abadi di atas 2% seperti yang diterima Provinsi Papua.
Hal tersebut mencuat dalam rapat sosialisasi draft perubahan UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang berlangsung di Gedung DPRK Subulussalam, Jumat, 3 Maret 2023 pukul 09.00 WIB.
Rapat sosialisasi ini dipimpin oleh Ali Basrah selaku Ketua Tim Advokasi UUPA dan dihadiri oleh sejumlah pihak dari instansi terkait, organisasi pemerintah, asosiasi kepala desa, Ormas, OKP serta partai politik di Kabupaten Subulussalam. Ikut serta dalam sosialisasi tersebut dua tenaga ahli Tim Advokasi UUPA yaitu Mukhlis Muktar dan Dr Effendi Hasan.
Dalam sosialisasi tersebut beberapa peserta sepakat agar Aceh mempertahankan dana Otonomi Khusus (Otsus) sebesar 2% dari Pemerintah Pusat. Pernyataan sepakat ini seperti disampaikan Sekretaris Komisi B DPRK Subulussalam, Karlinus, yang mengaku tertarik dengan pembahasan dana Otsus.
Menurut anggota legislatif dari DPRK Subulussalam tersebut, posisi masyarakat Aceh saat ini belum dalam kondisi makmur dan sejahtera. “Waktu kita mendapatkan dana Otsus 2%, uang Aceh ini berlimpah, tetapi masyarakatnya masih banyak yang miskin. Apakah ini salah pengaturan atau salah penganggaran? Ini yang perlu nanti dibahas kelanjutannya apalagi sekarang kita (Aceh) mendapat jatah hanya 1% dari Pusat, bagaimana mensejahterakan masyarakat dengan dana sebesar tersebut,” kata Karlinus.
Dia berharap DPR Aceh bersama Pemerintah Aceh berupaya kuat untuk mempertahankan dana otonomi khusus Aceh tetap 2% seperti 20 tahun berjalan. Pria tersebut bahkan menganjurkan jika Aceh meminta lebih dari jatah 2% dana peruntukan dari Pemerintah Pusat yang sifatnya abadi seperti Papua.
“Minta kepada Pusat agar dana Otsus itu dilanjutkan lagi menjadi 2% atau lebih dari 2% karena Aceh memiliki sumber daya alam yang luar biasa yang sudah diserap oleh Pusat. Papua, mereka mendapatkan dana Otsus abadi, kenapa Aceh tidak bisa? Ini harapan kami kepada tim untuk perubahan UUPA ini agar memperjuangkan hal tersebut,” ujar Karlinus lagi.
Menurutnya jika Pemerintah Pusat kemudian mengakomodir permintaan tersebut, maka hal penting yang harus dilakukan semua pihak agar duit itu benar-benar untuk menyejahterakan masyarakat Aceh. Dia menyebutkan saat ini Pemerintah Aceh masih bertanggung jawab membangun rumah untuk kaum dhuafa, membangun sarana listrik di desa-desa, serta pembangunan jalan produksi pertanian masyarakat yang belu terealisasi.
“Ini harapan kami kepada Tim Advokasi UUPA untuk memperjuangkan dana Otsus Aceh,” kata Karlinus.
Dalam sosialisasi itu, Karlinus selaku Anggota DPRK Subulussalam juga menyorot tentang sektor pertambangan di Aceh yang belum menyejahterakan daerah. Hal ini merujuk pada banyaknya produksi sektor tambang yang dilakukan di luar Aceh. Padahal, Pemerintah Aceh sebelumnya telah mempertegas bahwa semua produksi hasil tambang Aceh harus dikelola secara mandiri di daerah ini.
“Hal ini mohon dipertegas lagi supaya dapat membuka lapangan kerja di Aceh. Ini termasuk perkebunan kelapa sawit sangat banyak di Aceh, tetapi minyak goreng saja masih beli dari luar. Kenapa tidak bisa dengan anggaran Aceh yang begitu besar, membuat satu pabrik di wilayah timur dan barat selatan supaya membuka lapangan pekerjaan dan supaya masyarakat dengan gampang membeli minyak goreng di Aceh ini,” kata Karlinus dalam sosialisasi draft revisi UUPA tersebut.
Selain terkait Dana Otsus Aceh serta isu pertambangan, para peserta sosialisasi juga turut berharap adanya penjelasan terkait sistem pemerintahan tingkat kecamatan, mukim, dan gampong dalam UUPA. Denni Bancin, SE, selaku Ketua DPC Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Kota Subulussalam, misalnya.
Dalam sosialisasi tersebut, Denni menyorot tentang Pasal 115 UUPA terkait pemerintahan gampong yang hanya mencantumkan masa jabatan kepala kampung di wilayah Aceh selama dua periode saja. “Kami berharap agar Pasal 115 ini kita telaah lebih dalam sesuai dengan UU Desa Tahun 2006 dan terusan UU Nomor 6 tahun 2014 Pasal 39 dan PP Nomor 43 tahun 2014 Pasal 47 tentang masa jabatan kepala desa,” pinta Denni.
Sementara Putra Nasrullah yang menjabat sebagai Ketua Ormas Pedang Keadilan Perjuangan Aceh lebih menitikberatkan persoalan penghapusan poin tiga dalam Bab II Pasal 2 UUPA terkait pemerintahan di tingkat kecamatan. “Mengapa dihapus? Dan bagaimana mekanisme ke depan jika kecamatan tersebut dihapus.”
Semua Orang di Aceh Wajib Pakai UUPA
Terkait beberapa saran tersebut, Mukhlis Mukhtar dari Tim Advokasi memaparkan ada tiga pasal yang paling penting dalam UUPA. Pertama adalah Pasal 7 ayat (1) yang bunyinya, “Pemerintah Pusat hanya berwenang dalam enam hal. Selebihnya adalah kewenangan Aceh.”
Dia mengatakan hal tersebut menyikapi persoalan produksi hasil tambang seperti yang dikeluhkan oleh salah satu Anggota DPRK Subulussalam. Menurutnya sektor tambang berada di bawah wewenang Aceh seperti yang diatur dalam UUPA.
“Namun kenapa ini belum terealisasi? Saya pikir ini ada permasalahan internal, dan ada persoalan politik antara Pusat dengan Aceh. Sebenarnya izin pengelolaan tambang dan izin pengelolaan hutan berada di bawah kewenangan Aceh seperti yang termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) UUPA,” ujarnya.
Kemudian, Mukhlis melanjutkan, hal paling penting dalam UUPA adalah kewenangan Pemerintah Pusat tidak boleh melemahkan kewenangan Pemerintah Aceh. Selanjutnya menurut Mukhlis, pasal penting lainnya dalam UUPA adalah Pasal 269 ayat (1) yang bunyinya, “aturan umum berlaku di Aceh sejauh tidak diatur dalam UUPA.”
Hal ini disebutkan Mukhlis Mukhtar, termasuk pelaksanaan Pilkada Aceh yang seharusnya dilakukan pada tahun 2022 kemarin. Menurutnya UUPA telah mengatur secara terperinci mengenai sistem pemilihan kepala daerah yang kemudian pada Pasal 73 disebutkan, “segala sesuatu yang berhubungan dengan Pilkada diatur kemudian dalam Qanun.”
“Itu maknanya apa? Maknanya ‘kan pendelegasian kewenangan. Sebenarnya komitmen perdamaian Aceh itu hanya ada dua hal, pertama pembagian kekuasaan, kedua pendelegasian kewenangan. Bendera juga persoalan pendelegasian kewenangan. Karena apa, Pasal 246 UU Pemerintah Aceh menyebutkan, ‘segala sesuatu menyangkut bendera diatur kemudian dalam Qanun.’ Diatur kemudian dalam Qanun, itu dalam pemahaman tata negara, itu pendelegasian kewenangan, maka tidak boleh ada dakwa dakwi, kalau orang Aceh bilang ‘bek meupuree singkee lah,” terang Mukhlis Mukhtar yang pernah menjadi Anggota DPR Aceh Komisi A Bidang Hukum, Politik dan Pemerintahan.
Mukhlis Mukhtar mengatakan, kewenangan Pusat tidak boleh melemahkan kewenangan Aceh tersebut bukan hanya sebatas komitmen. Dia mengatakan hal itu bahkan telah dicantumkan dalam memori van politik DPR RI.
Selain itu, kata dia, Qanun-Qanun yang telah dibuat sebagai penjabaran dari kekhususan Aceh juga tidak boleh dibatalkan.
“Ini rekan-rekan di DPRA melaporkan adanya mayoritas pembatalan Qanun Aceh. Mungkin bisa disupervisi, menyarankan ini tidak boleh, ini tidak tepat, saran ‘lah, tidak boleh membatalkan. Intinya Pemerintah Pusat tidak boleh membatalkan Qanun-Qanun Aceh, apalagi Qanun-Qanun Syariat Islam,” tegas Mukhlis Mukhtar.
Dia menyebutkan UUPA sebagai undang-undang tentu saja dapat diubah, tetapi hanya bisa dilakukan dengan persetujuan DPR.
Dalam sosialisasi itu, Mukhlis Mukhtar juga menyorot persoalan banyaknya pendamping desa di seluruh Aceh yang berpegang pada pola atau sistem secara nasional. Dia menyayangkan apa yang dilakukan oleh para pendamping desa tersebut lantaran kerap merujuk kepada Peraturan Menteri Desa (Permendes) dan Peraturan menteri Dalam Negeri (Permendagri).
“Padahal jika mengacu kepada putusan Mahkamah Konstitusi (MK), maka disebutkan semua orang yang terlibat di Aceh ini harus menggunakan UUPA,” pungkas Mukhlis Mukhtar. [Parlementaria]