NOA | Takengon– Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekda Aceh Mawardi mewakili Gubernur Aceh Nova melakukan pertemuan dengan pihak International Islamic Trade Finance Corporation (ITFC) dan Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI) di Takengon, Rabu (13/10/2021). Pertemuan itu digelar untuk membahas peluang kerjasama antara Pemerintah Aceh dengan SCOPI – ITFC terkait ekspor kopi arabika Gayo.
Pertemuan itu dihadiri Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar, Senior Associate, Regional Coordinator Trade and Bussines Development ITFC, Fathur Hidayat, Direktur Eksekutif SCOPI, Paramitha Mentari Kesuma, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Cut Huzaimah, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh, Mohammad Tanwier, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Aceh, Marthunis, serta sejumlah peserta lainnya.
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekda Aceh Mawardi saat membacakan sambutan Gubernur menyebutkan, Kopi Arabika Gayo adalah salah satu kopi terbaik di dunia yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo. Hingga saat ini total produksi kopi Arabika Gayo disebut mencapai 40 persen dari total seluruh produksi kopi dalam negeri. “Umumnya budidaya kopi Arabika Gayo dilakukan oleh masyarakat petani kopi, sehingga keberhasilan Aceh mengembangkan kopi Arabika identik dengan keberhasilan rakyat dalam mengoptimalkan sumber daya alam di daerahnya,” kata Mawardi.
Mawardi menjelaskan, Pemerintah Aceh selama ini terus berupaya untuk meningkatkan produktivitas Kopi Arabika Gayo melalui berbagai program seperti pelatihan bagi petani kopi, rehabilitasi, pengembangan dan peremajaan kopi Arabika Gayo serta bantuan alat pasca panen menunjang produksi kopi. “Dan kita juga berharap pemerintah pusat, kalangan pengusaha dan para pihak terkait ikut mendukung petani kopi agar produktivitas kopi Arabika Gayo terus mengalami peningkatan,” sambung Mawardi.
Lebih lanjut, Kopi Arabika Gayo disebut dikembangkan pada 3 kabupaten yaitu di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Luas areal kopi Arabika Gayo saat ini mencapai 103.495 Ha dengan total produksi 66.548 ton, melibatkan petani sejumlah 80.003 KK.
Mawardi juga mengatakan, untuk peningkatan produksi dan produktivitas dalam kegiatan budidaya Kopi perlu penerapan GAP (Good Agriculture Practice). Tujuan dari GAP, kata Mawardi, di samping untuk peningkatan produksi dan produktivitas, juga untuk peningkatan mutu termasuk keamanan konsumsi, meningkatkan efisiensi produksi, meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam serta mempertahankan kesuburan lahan dan kelestarian lingkungan.
“Oleh karenanya, perlu disosialisasikan cara budidaya kopi yang baik (Good Agriculture Practice) untuk meningkatkan produktivitas petani yang berkelanjutan.”
Selanjutnya, Mawardi juga menyampaikan bahwa keberlanjutan sistem produksi kopi meliputi 4 dimensi. Pertama, dimensi lingkungan fisik yaitu prinsip keberlanjutan lingkungan meliputi tanah, air dan sumber daya genetik flora & fauna dengan pengelolaan lahan yang berkelanjutan.
Kedua, dimensi ekonomi yaitu petani sebagai salah satu pelaku utama dapat memperoleh pendapatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhannya, pedagang memperoleh keuntungan yang layak untuk hidup sehari-hari, dan eksportir mendapatkan keuntungan yang memadai untuk menjalankan bisnisnya.
Ketiga, dimensi sosial yaitu keberlanjutan usaha produksi kopi sangat ditentukan oleh faktor sosial antara lain tingkat penerimaan para pelaku aktivitas produksi kopi terhadap suatu masukan ataupun teknologi tertentu.
Keempat, dimensi kesehatan yaitu saat ini kesadaran terhadap kesehatan terus meningkat diantaranya berupa peningkatan kebutuhan bahan pangan dan bahan penyegar yang aman dari logam berat, residu pestisida maupun jamur dan toksin.
Pemerintah Aceh disebut mendukung rencana pembangunan pelabuhan darat (Dry Port) yang diprakarsai oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah bersama dengan Kementerian Perhubungan. Tujuan dibangunnya dry port ini untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, serta menjaga keaslian dan kualitas kopi gayo yang akan diekspor.
Lebih lanjut, sesuai data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh menyebutkan, setiap tahunnya Tanah Gayo mampu mengekspor biji kopi ke 18 Negara, antara lain, Korea, China, Jepang, Hong Kong, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Australia, dengan nilai ekspor mencapai 52 juta US Dollar.
Beberapa negara penghasil kopi seperti Brazil, Jamaika, Chili, Afrika dan negara lainnya, juga terus menjadi pesaing kopi Arabika. “Maka perlu diambil langkah inovasi melalui sistem pertanian untuk bersaing sehingga produk kopi Gayo lebih menarik dan unggul di pasar internasional,” katanya.
Sementara itu, Kopi Arabika Gayo juga disebut adalah salah satu kopi di Indonesia yang telah memiliki hak atas Indikasi Geogfrafis (IG). Manfaat dari hak atas IG adalah untuk melindungi yang berhak melakukan perdagangan dengan merek Gayo hanyalah pemilik.
Pada pasar global saat ini peran perlindungan Indikasi Geografis (IG) dirasa begitu penting, dimana masyarakat/petani membutuhkan perlindungan hukum terhadap nama asal produk agar tidak digunakan oleh pihak lain untuk melakukan persaingan curang, maka peran Indikasi Geografis dapat melindungi ciri khas suatu produk khususnya Kopi Arabika Gayo (IG Kopi Arabika Gayo).
Di samping Indikasi Geografis, kehalalan suatu produk juga merupakan hal yang sangat penting. Kehalalan Kopi diawali dengan proses pemanenan, penjemuran menggunakan lantai jemur agar tidak terkontaminasi dengan kotoran hewan/najis. “Selanjutnya pada proses sangrai. Jika proses sangrai tidak menggunakan bahan apapun, maka biji kopi dipastikan halal, namun jika proses sangrai dicampur bahan lain, maka harus dipastikan kehalalan bahan tambahannya contohnya lemak mentega,” kata dia.
Kemudian dipastikan juga penggunaan fasilitas pada semua proses hingga menjadi minuman kopi disajikan di atas meja harus terbebas dari kontaminasi bahan tidak halal dan najis.
Di Indonesia, sertifikat halal diterbitkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI).
Ada hal penting lainnya pada komoditi kopi yang perlu diperhatikan, yaitu Sistem Resi Gudang (SRG) yang merupakan instrumen perdagangan maupun keuangan yang memungkinkan komoditi yang disimpan dalam gudang memperoleh pembiayaan dari lembaga keuangan tanpa diperlukan adanya jaminan lainnya.
Untuk kabupaten Aceh Tengah saat ini disebut memiliki 5 gudang untuk SRG, satu milik pemerintah dan empat lagi milik pihak swasta. Keberadaan SRG di masa pandemi ini dan disaat harga kopi jatuh minimal menjadi solusi untuk tetap menjaga kualitas kopi. []