NOA I Jakarta – Oknum penyidik Polres Lampung Timur, IPDA Hendra Abdurahman, S.Sos, M.H., ditemukan telah memberikan informasi yang patut diduga sebagai keterangan bohong di Pengadilan Negeri Sukadana, Senin, 13 Juni 2022, kemarin. Sebagaimana diketahui, Hendra Abdurahman merupakan salah satu dari dua anggota polisi yang hadir sebagai saksi verbalisan atas perintah Ketua Majelis Hakim, Diah Astuti, S.H., M.H. untuk dimintai keterangan terkait sejumlah kejanggalan dan ketidaksesuaian antara isi BAP dengan kesaksian para saksi fakta, saksi korban, dan ahli, di persidangan.
Dari pantauan langsung awak media di persidangan, kedua saksi verbalisan itu nyata-nyata telah memberikan keterangan dan/atau informasi yang tidak sesuai fakta maupun peraturan alias SOP yang berlaku.
Untungnya, Majelis Hakim terkesan kuat melindungi kedua oknum polisi itu sehingga keterangan yang mereka berikan terlihat sebagai sesuatu yang wajar dan bukan kebohongan serta dapat dimaklumi.
Menanggapi hal tersebut, Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, yang kebetulan didudukkan sebagai pesakitan dalam kasus perobohan papan bunga yang menyeret kedua penyidik itu sebagai saksi verbalisan di persidangan, mempertanyakan kinerja Divisi Propam Kepolisian Republik Indonesia.
“Saya sudah melayangkan laporan pengaduan tentang tindakan menyimpang dari aturan dan SOP Polri yang dilakukan puluhan oknum Polres Lampung Timur, termasuk Hendra Abdurahman tersebut sejak akhir Maret 2022 lalu. Namun hingga hari ini, sudah hampir 3 bulan, kita tidak tahu hasilnya seperti apa. Informasi semacam SP2HP2 atau pemberitahuan perkembangan penanganan kasus dari Divisi Propam sampai kini belum ada. Mungkin mereka itu berpedoman pada pameo ‘sesama busway jangan saling mendahului, sesama rampok harus saling melindungi’ ya,” ungkap Wilson Lalengke kepada media ini dalam pernyataan pers yang dikirimkan melalui Sekretariat PPWI Nasional, Kamis (14/06/2022).
Dari sejumlah kesaksian yang diberikan oleh penyidik Hendra Abdurahman di persidangan itu, pernyataannya tentang penyiksaan orang yang disangka melakukan pelanggaran hukum merupakan keterangan bohong alias tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
“Keterangan dia itu jelas-jelas menunjukkan bahwa dia tidak mengerti bagaimana menjadi seorang aparat polisi yang isi perutnya dibayari rakyat. Apakah mungkin ada aturan seorang pelayan boleh menyiksa atau memperlakukan majikannya dengan seenak perutnya, hingga melukai secara fisik sang majikan? Benar-benar edan negara ini jika ada SOP semacam itu,” tegas Wilson Lalengke yang menjabat sebagai Ketua Umum PPWI ini.
Hendra Abdurahman mengatakan di persidangan bahwa menyeret dan melemparkan orang atau tersangka yang ditangkap, juga memukuli mereka, adalah tindakan yang sesuai dengan Standard Operational Procedure (SOP). Pernyataan yang bersangkutan itu sebagai jawaban atas pertanyaan Edi Suryadi, salah satu anggota PPWI yang ditahan bersama Wilson Lalengke dalam kasus ini, tentang SOP penangkapan orang yang disangka melakukan pelanggaran hukum.
Ketika dia ditanyai tentang aturan yang mengatur hal tersebut, dia hanya berkilah bahwa itu sesuai dengan SOP tentang upaya paksa. Majelis Hakim yang memimpin sidang kasus perobohan papan bunga itu kemudian secara cekatan menengahi dengan menyarankan agar tersangka menyampaikan laporan atau pengaduan ke instansi Polri yang khusus menangani masalah perlakuan anggota Polri yang diduga menyalahi prosedur.
Wilson Lalengke menimpali saran Majelis Hakim itu dengan mengatakan bahwa dirinya sudah menyampaikan pengaduan ke Propam Polri hampir 3 bulan lalu namun hasilnya masih nihil hingga hari ini. Lulusan pasca sarjana bidang Applied Ethics dari Utrecht University, the Netherlands, dan Linkoping University, Sweden, ini menyambung dengan memperbandingkan kasus perobohan papan bunga yang hanya berselang sehari polisinya sudah menangkap mereka, yang dalam konteks itu terdapat ketidakadilan perlakuan hukum di dalamnya.
Ketua Majelis Hakim, Diah Astuti, S.H., M.H., secara diplomatis menjawab pernyataan Wilson Lalengke di persidangan itu dengan mengatakan bahwa hal tersebut diluar kewenangan Majelis Hakim.
“Karena itu adalah kewenangan lembaga lain, jadi Majelis Hakim tidak bisa ikut campur ya,” ujar Diah Astuti berkilah.
Ketika Tim Hukum dan PPWI Media Group melakukan penelusuran terkait SOP penanganan kasus dugaan pelanggaran hukum di tingkat kepolisian, justru aturannya bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh oknum polisi Hendra Abdurahman itu.
“Seharusnya setiap anggota Polri berpedoman kepada peraturan-peraturan Kapolri dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai anggota Polri,” jelas Advokat Ujang Kosasih, S.H., salah satu Tim Hukum PPWI, Kamis, 14 Juni 2022.
Pedoman bagi anggota Polri, tambah Ujang Kosasih, antara lain Peraturan Kapolri No. 7 tahun 2006, khususnya Pasal 7 yang menegaskan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa:
b. Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan;
c. Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas;
d. Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat;
h. Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan;
i. Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat;
j.Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan;
k. Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak- anak di bawah umur; dan
l. Merendahkan harkat dan martabat manusia.
Yang kedua, sambung advokat dari Baduy, Banten, itu adalah Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 11 ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan:
– Penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum;
– Penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
– Pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
– Penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia;
– Korupsi dan menerima suap;
– Menghalangi proses peradilan dan/atau menutup-nutupi kejahatan;
– Penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum;
– Perlakuan tidak manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan kasus pelanggaran HAM oleh orang lain;
– Melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak berdasarkan hukum;
– Menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan.
Dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 itu juga disebutkan bahwa dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri dilarang:
– Melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fIsik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan;
– Menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan tindakan kekerasan di luar proses hukum atau secara sewenang-wenang;
– Memberitakan rahasia seseorang yang berperkara;
– Memanipulasi atau berbohong dalam membuat atau menyampaikan laporan hasil penyelidikan;
– Merekayasa laporan sehingga mengaburkan investigasi atau memutarbalikkan kebenaran;
– Melakukan tindakan yang bertujuan untuk meminta imbalan dari pihak yang berperkara.
– Pasal 6 poin (a) Perkap No. 8 tahun 2009 mengatur jaminan hak setiap orang memperoleh keadilan, dimana setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan pengajuan dan laporan dalam perkara pidana, serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara objektif.
– Pasal 9 ayat (1) dalam penerapan tugas pelayanan dan perlindungan terhadap masyarakat, setiap anggota Polri seharusnya memperhatikan asas legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas.
“Penyidik Reskrim Polres Lampung Timur wajib melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Pada Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Juga, pada ayat (2) berbunyi setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain,” terang Ujang Kosasih panjang lebar.
Hal ini menunjukkan, demikian Ujang Kosasih, bahwa konstitusi Indonesia melindungi hak seseorang untuk tidak dituntut atau dihukum atau diterapkan dengan cara penerapan yang bertentangan dengan aturan hukum, sehingga ada jaminan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.
“Tambahan lagi ya, ketentuan di UUD 1945 itu kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. Sementara di ayat (2) berbunyi setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak,” pungkas Ujang Kosasih.
Merujuk kepada semua peraturan dan ketentuan hukum yang diuraikan oleh Advokat Ujang Kosasih, S.H. di atas, dan dihubungkan dengan pernyataan oknum polisi Hendra Abdurahman di persidangan, Wilson Lalengke menyatakan bahwa ia sangat menyayangkan hal itu.
“Miris sekali melihat sikap dan perilaku oknum polisi Hendra Abdurahman itu ya. Rakyat Indonesia rugi besar membiayai hidupnya, termasuk membelikan seragam polisi hingga sempak yang dipakai sehari-hari, hanya untuk membuat dia sehat, kekar dan kuat menyiksa rakyat, memperlakukan warga sesukanya seperti hewan,” sesal alumni program persahabatan Indonesia Jepang Abad-21 itu mengakhiri pernyataannya. (Red)