Jayapura, Papua – Masyarakat Adat Desa Yoboi, Papua, mengadopsi cara-cara baru untuk mengubah pohon sagu asli mereka menjadi produk bernilai tinggi, menekan waktu pengolahan dari beberapa hari menjadi hanya lima jam dan membuka pintu ke pasar yang lebih luas, Sabtu (1/3/2025).
Papua memiliki perkebunan sagu terbesar kedua di Indonesia, namun mayoritas pengolahan sagu tradisional masih manual dan memakan waktu lama. Akibatnya, produk yang dihasilkan berkualitas rendah dan memiliki manfaat yang terbatas bagi penghidupan lokal dan ketahanan pangan.
Namun, kini, anggota Masyarakat Adat Yoboi dapat mengolah sagu menjadi produk bernilai tambah yang memenuhi standar keamanan pangan dengan menggunakan unit pengolahan sagu skala kecil, yang dibangun dengan dukungan proyek kerja sama Kementerian Pertanian Republik Indonesia dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) dan kini telah dimiliki oleh masyarakat. FAO dan Analisis Papua Strategis telah melatih 30 anggota masyarakat untuk mengoperasikan unit secara berkelanjutan dan mendiversifikasi produk turunan sagu.
“Dengan unit mesin pengolahan sagu, ekonomi masyarakat Yoboi jadi mandiri. Ini solusi tepat bagi warga Yoboi yang memiliki dusun Sagu yang luas di Jayapura,” kata Sefanya Walli, Kepala Kampung Adat Yoboi.
Sagu, makanan pokok yang sakral bagi Masyarakat Adat, telah dipertimbangkan sebagai sumber karbohidrat alternatif untuk turut memastikan ketahanan dan keanekaragaman pangan.
Namun, masih diperlukan upaya untuk memastikan produk sagu bisa diterima dan dikonsumsi oleh masyarakat secara lebih luas, ujar Elvyrisma Nainggolan, Ketua Kelompok Pemasaran Hasil Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
“Peran kelompok kampung penghasil sagu menjadi penting dan perlu diberdayakan sehingga bisa mengolah sagu menjadi tepung yang selanjutnya bisa menjadi kue hingga bahkan mi berbahan sagu, seperti di Yoboi. Dengan begitu, harapannya sagu yang dihasilkan Masyarakat Adat Yoboi dapat meluas di pasar nusantara, bahkan ke depan akan mendunia,” kata Elvyrisma.
Untuk mempromosikan produk berbasis sagu masyarakat dan menghubungkan mereka dengan calon pembeli, distributor, dan pelaku pasar, FAO, Masyarakat Adat Yosiba (Yoboi, Simforo, dan Babrongko), dan Analisis Papua Strategis hari ini meluncurkan Festival Sagu pertama di Yoboi, Jayapura.
Selama festival, perempuan dan anggota Masyarakat Adat Yoboi lainnya mendemonstrasikan hidangan berbasis sagu mereka, seperti mi dan beras analog, yang menunjukkan potensi pasar mereka. Sesi jejaring bisnis memungkinkan anggota masyarakat, pengusaha sagu kecil dan menengah, pelaku pasar, dan koperasi untuk saling terhubung dan memanfaatkan potensi dan peluang bisnis. Lebih dari 100 orang berpartisipasi dalam festival ini, termasuk anggota Masyarakat Adat, perwakilan bisnis, dan masyarakat Jayapura.
Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua Matheus Philep Koibur mengapresiasi Festival Sagu yang telah menunjukkan potensi besar komoditas sagu dalam memenuhi kebutuhan pangan, pelestarian lingkungan dan peningkatan ekonomi masyarakat.
“Festival Sagu telah membuka ruang besar untuk mempromosikan sagu kami ke pelaku industri yang kemudian bisa mengolahnya menjadi produk bernilai tinggi. Lebih dari itu, masyarakat di kabupaten penghasil sagu lainnya bisa diharapkan bisa termotivasi untuk mulai mencontoh langkah Masyarakat Adat Yoboi,” kata Matheus.
“Dengan penerapan teknologi yang diadaptasi dan hubungan pasar yang tepat, Masyarakat Adat dapat berpartisipasi dan memperoleh manfaat ekonomi dari rantai nilai sagu utama. Namun, mereka juga dapat meningkatkan kesadaran tentang pengolahan sagu berkelanjutan yang dapat berkontribusi pada ketahanan dan diversifikasi pangan serta ketahanan ekonomi bagi komunitas lainnya,” kata Rajendra Aryal, Kepala Perwakilan FAO di Indonesia dan Timor Leste.
FAO berkomitmen untuk mendukung lebih banyak anggota Masyarakat Adat dan petani skala kecil dalam pengolahan sagu berkelanjutan dan membantu mereka terhubung dengan pasar utama yang lebih besar untuk meningkatkan mata pencaharian lokal dan ketahanan pangan.
Editor: Amiruddin. MK