Takengon – Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Wilayah Aceh Tengah, Tgk Ismudin Renggali, dengan tegas mengecam tindakan brutal oknum TNI yang diduga menembak mati warga Uteun Geulinggang.
Peristiwa ini menambah panjang deretan kasus kekerasan yang menimpa rakyat Aceh, meski sudah hampir dua dekade perjanjian damai diteken di Helsinki.
“Sudah hampir 20 tahun kita menandatangani MoU Helsinki, tapi mengapa masih ada aparat yang berperilaku seperti di masa konflik? Jika benar ada kesalahan, apakah penyelesaiannya harus dengan menghilangkan nyawa?” ujar Ismudin dalam pernyataan resminya, Selasa (18/03/2025).
Ismudin mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengawal proses hukum agar kasus ini tidak berakhir tanpa keadilan.
“Kami tidak ingin tragedi ini hanya menjadi deretan statistik tanpa kejelasan hukum. Belum hilang luka akibat pembunuhan Imam Masykur, kasus bos rental yang dibunuh, kini rakyat Aceh kembali berduka. Sampai kapan rakyat Aceh harus menanggung derita seperti ini?” tegasnya.
Tuntutan Tegas ke Panglima TNI
Dalam pernyataannya, Ismudin juga mendesak Panglima TNI untuk tidak tinggal diam dan segera mengontrol perilaku anak buahnya di lapangan.
“Seharusnya, aparat bertindak sebagai pelindung rakyat, bukan algojo yang dengan mudah mencabut nyawa. Apalagi ini bulan Ramadan, bulan penuh hikmah dan kedamaian. Jangan sampai oknum-oknum semacam ini merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara,” katanya.
Tgk Ismudin menegaskan, jika tindakan ini terus dibiarkan tanpa sanksi tegas, maka kepercayaan rakyat terhadap proses hukum akan semakin luntur.
“Jangan salahkan rakyat jika suatu hari mereka tak lagi percaya pada hukum dan memutuskan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri,” ujarnya dengan nada keras.
Dari sisi hukum, tindakan yang dilakukan oknum TNI ini bisa dikategorikan sebagai pembunuhan yang diatur dalam:
1. Pasal 338 KUHP – Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
2. Pasal 351 ayat (3) KUHP – Jika penganiayaan mengakibatkan kematian, pelaku dapat dijerat dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
3. Pasal 170 ayat (2) KUHP – Jika kekerasan yang dilakukan bersama-sama menyebabkan kematian, para pelaku diancam hukuman penjara paling lama 12 tahun.
Selain itu, sebagai anggota militer, oknum TNI tersebut juga bisa dijerat dengan Pasal 103 KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer) yang mengatur pelanggaran terhadap perintah atasan dan tindakan yang mencoreng nama baik institusi.
Kasus ini menjadi catatan kelam bagi rakyat Aceh yang terus dihantui bayang-bayang kekerasan aparat, meski konflik telah berakhir secara resmi sejak 2005.
“Sampai kapan rakyat Aceh harus menjadi korban? Apakah kita hanya bisa berteriak tanpa ada tindakan nyata dari pemerintah dan institusi penegak hukum?” pungkas Ismudin.
Rakyat Aceh kini menunggu langkah konkret dari Panglima TNI.
Jika kasus ini kembali menguap tanpa keadilan, maka ketidakpercayaan terhadap negara akan semakin dalam.
Akankah ini dibiarkan begitu saja? Atau rakyat harus kembali turun ke jalan menuntut hak mereka?
Editor: Amiruddin. MK