Banda Aceh – Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Aceh selalu berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan adat.
Hal ini dapat dibuktikan dengan beragam sekali temuan budaya-budaya berlandaskan hukum agama yang dijadikan pegangan dalam bermasyarakat. Jumat, (20/05/2022).
Adat-adat ini kemudian mulai menjadi “wajib” hukumnya untuk dilakukan oleh masyarakat Aceh ketika ada perayaan maupun ritual-ritual keagamaan lainnya.
Meskipun sebenarnya tidak ada yang mewajibkan semua adat ini untuk dilakukan. Namun pada kenyataannya, masyarakat Aceh terus mengupayakan segala macam cara agar adat-adat ini bisa terus dilaksanakan.
Salah satu dari berbagai banyak ragam adat istiadat yang sering masyarakat lakukan di Aceh yaitu Kenduri Blang yang artinya Pesta Turun Sawah.
Budaya ini merupakan Pesta yang dilakukan para Petani ketika akan turun kembali ke sawah. Hal ini dinilai sangat penting dan sakral bagi masyarakat Aceh. Kenduri Blang sendiri merupakan sebagian kecil dari adat-istiadat dalam proses bertani di Aceh.
Majelis Adat Aceh (MAA) dalam hal ini merangkum dan menjelaskan bagaimana proses adat-istiadat tersebut:
BLANG, MUSEM LUAIH BLANG DAN MEU’UÈ (Sawah, Musim Pasca Panen dan Menggarap)
Blang
Areal yang digunakan untuk menanam padi adalah pada lahan dekat pantai maupun dikawasan tinggi disekitar dihampir semua kawasan di Aceh terdapat areal persawahan yang luas maupun sawah yang kecil. Areal persawahan yang luas disebut “blang”. Dalam kawasan yang dinamakan blang terdapat petak-petak sawah kepunyaan penduduk beberapa gampong. Areal persawahan yang berdekatan dengan pantai yang disebut “rawa” dan yang terdapat pada dataran rendah didekat pantai disebut “paya atau bueng”. Areal persawahan didataran tinggi disebut “ladang”.
Padi yang dihasilkan dari ladang dinamai “pade ladang” yaitu lahan sawah yang dibuka dengan menebas hutan kecil di perbukitan untuk menanam padi. Mengenai padi ladang dibahas tersendiri.
Persawahan yang berdekatan dengan pemukiman satu gampong disebut “umong”, biasanya pemilik sawah itu adalah penduduk gampong itu. Batas antara satu petak sawah dengan sawah lain diberi tanggul yang disebut “ateung umong”.
Ketentuan memberi batas sawah menyebabkan timbulnya hukum adat yang memberi pengakuan hak milik adat “umong meuateung lampoih meu pageu”. Pekerjaan bersawah disebut “meugöè”. Pekerjaan. bersawah dipandang sangat mengangkat derajat dan martabat Seseorang, semakin luas sawah yang dimiliki status social dalam masyarakat menjadi disegani, “Buet tameugo le meneupeu’at, Po bri rahmat keubiasa.
Buet tameugo le tat paedah, nabi peugah le tat pahla”
Musim Luaih Blang
Musim luaih blang atau pasca panen adalah kondisi sawah dalam keadaan habis panen. Masa sawah kosong pada masa itu berlangsung sekitar 4 bulan. Masa tanam pada masa lalu adalah satahun sekali.
Pada masa itu sawah dibiarkan kosong dan orang bebas melepaskan binatang ternak seperti lembu, kerbau dan kambing merumput secara bebas.
Sementara bagi pemuda yang gemar bermain layang-layang2 maka dimusim ini ramai orang orang bermain layang-layang dan kadangkala diperlombakan yang disebut”geulayang tunang”. Layangan khas Aceh disebut geulayang kleung karena dibuat menyerupai sayap burung elang.
Pada musim itu juga sawah yang berdekatan dengan gampong dimanfaatkan orang menanam tanaman muda (palawija) seperti kacang panjang, bawang, jagung, kacang hijau dan berbagai tanaman sayuran lainnya.
Petak sawah yang ditanami tanaman muda wajib diberi pagar agar tidak dimakan oleh binatang ternak. Biasanya pagar itu dibuat secara darurat karena bersifat sementara, bila musim bersawah dimulai pagar itupun dibongkar kembali.
Di beberapa gampong masa luaih blang daerah diadakan perlombaan adu lembu “pupok leumo” atau biri-biri. Selain itu pada musim luaih blang orang melakukan pekerjaan lain yang tidak ada hubungannya dengan tanaman padi seperti, membakar kapur “tot gapu”, menanam batu nisan pada kuburan keluarga, menindik telinga anak “tob geulinyuéng”, melaksanakan pesta perkawinan dan kegiatan kemasyarakatan lainnya.
Peuphon Meugo
Orang tidak boleh mengerjakan sawah sesuka hatinya: walaupun sawah itu miliknya. Ada ketentuan yang harus ditaati sebagai anggota persekutuan adat meugo. Orang baru boleh melakukan kegiatan awal bersawah setelah seorang petua sawah yang disebut “keujrun blang” memberi aba-aba untuk mulai aktifitas. Kesalahan tidak mentaati ketentuan adat akan berakibat dikucilkan oleh masyarakat.
Kesalahan turun kesawah berakibat hasil panen menjadi gagal, sebagaimana diungkapkan dalam pepatah “paléh blang han jeut padē, paléh gleë han jeut nala”. Cala malom meuneugó tanda nangrde tan petua. Sagõe joih ka keméunkóh, sagoe nyo góh seumula. han jitēum meugó sireuta, na meuhala pade raya”.”
Langkah pertama yang dilakukan adalah menunggu perintah dari keujruen blang kapan sawah mulai bajak. Keujruen blang sebelum memberi amaran kepada petani terlebih dahulu mendengar pendapat dari seorang ahli cuaca yang disebut “malem”.
Orang ini memiliki ilmu spiritual “euleumee” tentang musim “keunenong” dia juga menguasai ilmu ramalan tentang prakiraan gangguan hama yang dikaitkan dengan musim.
Pekerjaan orang malem itu disebut “lum kutika”. Dengan. kepala yang sudah dicukur gundul, setelah habis magrib dalam suasana yang gelap, sunyi-sepi dia seorang diri pergi kelokasi persawahan. dalam perjalanan dia menghindari atau pantang bertemu dengan siapapun termasuk dengan binatang. seperti anjing, lembu dan binatang lainnya.
Sesampai disawah dia memilih lokasi pada sebuah sawah yang paling dekat dengan aliran air (irigasi). Disana dia dengan sebuah parang membuat beberapa buah garis dengan meniru gaya gerakan orang membajak. Selesai membuat garis dia membaca doa lalu diapun pulang.
Dari hasil kerjanya itu akan diketahui waktu yang tepat untuk mulai menggarap sawah. Jika dari pantau orang malem tadi waktu menggarap belum tepat maka waktu mulai bersawah ditunda.
Garis yang dibuat itu disebut “urêh laksamana” Kenapa disebut dengan nama demikian, memang belum diketemukan sarakata yang dapat menjelaskan kepada kita asal usul penggunaan istilah itu. Istilah “ureh laksamana” mengingatkan kita akan ceritera pewayangan dari negeri India atau Jawa.
Akan tetapi itu Istilah tersebut di Aceh amat lazim dipakai terutama dikalangan para tabib (dukun) untuk melindungi para pasien dari serangan tukang santet yang mencederai orang. Si dukun membuat beberapa garis pada tanah disekitar rumah pasien atau menanam beberapa benda disekeliling rumah sebagai temeng pertahanan serangan magic dari yang memusuhi pasiennya.
Sejauh mana pengaruh mengintip “kutika” oleh si malem itu saat meramal permulaan untuk mulai bersawah. Apakah ada hubungan atau secara kebetulan saja sama atau memang benar meniru cara yang dilkakukan oleh Ramayana.
Dimana dalam kisah kisah itu disebut Laksamana membuat garis disekitar Shinta untuk menjaganya dari ganggguan Rawana. Kemungkinan pengaruh kisah Ramayana dalam budaya Aceh bisa saja terjadi. Akan tetapi pengaruh itu telah melalui proses islamisasi dengan menghilangkan unsur Hindu dan menggantikannya dengan ajaran islam. Menurut H.Mod Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad, beliau menulis sebagai berikut” Dapat dicatat bahwa dalam kesusteraan Aceh ada juga memiliki hikayat Sri Rama yang dalam bahasa Melayu dikenal sebagai saduran dari Kawin Ramayana karya Walmiki.” Disebut saduran karena dalam hikayat tersebut unsur Hindunya sudah tidak tampak lagi, bahkan sebaliknya lebih sarat dengan unsur Islamnya.
Hal ini nampak dari penggunaan ungkapan “Allaihe salam.” Tidak jelas kepada kita apakah hikayat Sri Ramanya Aceh merupakan saduran dari Sri Rama dari India. Hikayat Sri Rama versi Aceh ditulis dalam huruf Arab Jawi. Namun diperkirakan hikayat Sri Rama dan Ramayana tersebut dianggap sebagai sejarah Aceh juga terutama bila dikaitkan dengan nama-nama tempat di Aceh seperti Indra Puri dan Indra Patra.
Kita kembali ke orang Malem yang melukakan pemantauan secara supra natura, jika hasil yang didapat dari pantauannya cukup baik untuk mulai menggarap sawah maka segera diberitahukan kepada Keujrun Blang agar diberitahukan kepada petani untuk segera mempersiapkan segala sesuatu seperti bergotong royong membersihkan saluran air “talô ie”, Sehingga air dapat mengalir lancar.
Kanduri Blang
Langkah berikutnya adalah mengadakan selamatan agar kerja yang akan dilakukan mendapat berkah dari Tuhan. Untuk itu diadakan kenduri disawah “kanuri blang”. Kanuri ini dilakukan serentak dan dapat pula dilakukan secara perorangan maupun secara bersaman antar gampong bila sawahnya dimiliki oleh warga yang berbeda gampong dengan biaya dipungut secara patungan yang disebut “meuripé”. Tempat kanuri tentu saja dilakukan di sawah dengan menyediakan makanan dan minuman untuk dimakan bersama dan diakhiri dengan doa selamat. Lauk disediakan dalam kenduri itu berbeda antara satu tempat dengan lainnya.
Selain kanuri besar seperti tersebut di atas, masih dilakukan kanuri secara kecil-kecilan oleh pemilik sawah yang dilakukan secara insidentil yaitu dilakukan pada setiap pertumbuhan padi. Hal ini mengikuti jejak Siti Hawa sebagaimana dikisahkan dalam hikayat Asay pade, dimana Hawa mengundang “meu uroh” semua binatang yang ada di sekitar sawahnya untuk menyantap makanan yang dibawanya dari rumah.
“Makanan neùme habéh neùbri, bala bagi dum habe na. Ladom néubri kéuseudekah. Habeh néumeu uröih simargasitua. Neùpeu jamé dum na binatang. Meùhimpon diblang ba’ Siti Hawa.
Jenis makanan yang dibawa kesawah untuk menjamu satwa bermacam ragam, mengisyaratkan satwa juga membutuhkan makanan seperti dinukilkan dalam kisah berikut:
“Siti peu hasée seulengkapan, jeunõh makanan ke aneuk’ nda, Ngon makanan bala bagoe, leungkap sinaro jeuneh rasa, Ngon minuman pih lõe jineh, lè nyang manéh pih lée rasa” Misei adat dilee poroe, Tuhan sidroe nyang po karoenya. Aneuk ngon nang ka meuteumeung. Pade di blang masak dum rata Makanan neume habeh kaneubri. Bala bagi dum halena. Ladoem nebri ke seudeukah, Habéh neu meu uroh meuregasitua Neupeu jamee dum binatang, Meu himpon diblang bak Siti hawa Siti Hawa woe u rumoh, Pade damoh ngireng dum na. Aneuk nang ka wo diblang, Ka woe di ladang ngon aneunda……
Dari kisah tersebut diatas terkandung makna margasatwa juga membutuhkan makan, oleh karena itu perlu disantuni seperti yang diperlihatkan Siti Hawa. Replika itu kemudian diujudkan oleh masyarakat ketika siprouk breueh pada dalam upacara peusijuok yang dilakukan oleh para indatu sejak berabad abad yang lalu, terdapat kesemaaan dengan riwayat Siti Hawa.
Karena padi dan beras yang berjatuhan ditanah sesungguhnya tidak terbuang menjadi mubazir, akan tetapi menjadi santapan binatang kecil serti tikus, semut, ayam, dan binatang lainnya.
Pada sebagian masyarakat Blang Bintang kebiasaan kenduri bubur di sawah masih dilakukan sampai saat ini, sebagai ucapan syukur kehadirat Allah Swt. atas limpahan rahmat-Nya’. Kenduri ini dibuat dari tujuh macam bijian hasil pertanian mareka.
Upacara ini sekaligus mengenang peristiwa pascabanjir Nabi Nuh As, dimana pada waktu konon cuma ada yang tersisa 7 bijian yang dapat dijadikan sebagai makanan oleh umat yang menumpang kapal nabi Nuh As. Hal yang serupa juga dilakukan di Lambaro Aceh Besar, dengan nama upacara kenduri babah jurong yang dilakukan oleh warga masyarakat di sana.
Dalam kenduri itu disediakan makanan berupa nasi yang sudah dibungkus dengan daun pisang yang sudah diasap yang
disebut “bu kullah” yang beraroma alami diikat dengan daun pandan kering “on seukei”. Tidak ada yang disajikan kepada roh halus atau jin atau digantung pada pohon yang besar. Selesai makan dilanjutkan pembacaan doa selamat agar dimudahkan rejeki. Dari beberapa kisah lama dapat kita tarik hikmah bahwa apa yang dilakukan oleh endatu kita bukan memuja iblis tapi memohon kepada Allah. Sangat disayangkan jika ada yang beranggapan pekerjaan itu tidak sesuai dengan ajaran Islam,
Di sekitar kawasan Aceh Besar teman nasi tidak dibolehkan disajikan daging sapi atau kerbau, tetapi sebagai penggantinya disajikan daging ayam saja ditambah penganan dan kue serta minuman. Nasi dan lauk disiapkan dalam bentuk pyramid dibungkus daun pisang yang sudah diasapi “dilayu”, sehingga menimbulkan. aroma yang khas. Berbeda dengan kenduri laot dilakukan oleh masyarakat nelayan binatang yang disembelih adalah kerbau tidak boleh hewan lain.
Tujuan diadakan kenduri blang diadakan dengan maksud mohon kepada Allah agar terhindar dari mara bahaya dan pekerjaannya memperoleh keridhaan dari Allah. yang Maha Esa. Tujuan lainnya adalah mempererat hubungan silaturrahmi sesama petani sawah dalam mengujudkan semangat kebersamaan dan gotong royong. Kegiatan seperti itu sudah berlangsung sangat lama dalam kehidupan para petani sawah di Aceh, paling tidak diperkirakan sudah berlangsung sebelum orang Aceh beragama Islam. Terlebih lagi setelah islam berkembang di Aceh.
Mèu Uè
Setelah tiga hari kenduri blang, para petani mulai membajak tanah sawah. Pekerjaan mengolah tanah dilakukan dengan menggunakan alat bajak yang disebut “langay” dan pekerjaan. membajak membajak sawah disebut dengan “mau ue”.
Selain dengan cara itu membajak atau pengolahan tanah juga dilakukan dengan cangkul “cangkdy”, pekerjaan ini disebut “ceumangkoy”. Pengolahan tanah cara lainya adalah dengan melepaskan beberapa kerbau kesawah yang berair “peublöh keubeu”, cara ini memungkinkan jika tanah sawah terendam air dan pada masa lalu digunakan oleh petani sawah di pulau Simeulue.
Saat membajak sawah sampai panen lebih kurang berjalan delapan bulan disebut dengan istilah “musem pice’ atau disebut juga musem “köt blang”. Musim yang dipilih untuk mulai bersawah dipedomani pada perhitungan kelender yang sudah baku pada masa itu yang disebut “keunöng” yang artinya kena. Walaupun perkiraan itu kadang-kadang bisa meleset, tapi pada umumnya perkiraan musim yang sudah baku tetap dipakai sebagai pedoman. Uraian keunong akan diurai pada bab berikutnya. Berdasarkan perkiraan kelender keunong maka musim turun kesawah adalah biasanya jatuh pada keunong 15 (bulan Mei), 13 (bulan Juni) dan 11 (November).
Luas sawah diukur berdasarkan banyaknya bibit yang ditanam atau berdasar pada ukuran sawah yang disebut “yok” yang dibuat dari batang eru. Ukuran satu yòk disamakan dengan dengan ukuran satu “nalleh”. Ukuran umong setengah “nallēh” juga disebut satu “yók” Mengenai ukuran dan takaran diuraikan dalam bab berikutnya.
Pada waktu mulai membajak tidak ada upacara yang khusus, kecuali pada waktu memilih hari yang dianggap baik untuk mulai membajak yaitu tanggal 6, 12, 16, 17, 22 dan 26, sedangkan hari yang tidak baik adalah tanggal 3, 5, 8, 14 21, 25 dan 28 pada setiap bulannya. Penentuan hari baik atau dianggap kurang baik lebih didasarkan pada kebiasaan semata. Lamanya membajak untuk satu umong berkisar sepuluh hari untuk satu yok.
Membajak dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut “langai”. Alat ini ditarik oleh kerbau atau sapi. Konstruksi alat bajak terdiri dari, gagang “go” yang terbuat dari kayu batang jrók “boih langai” dibuat dari batang mane dan mata langai atau pisau dari besi, kayu yang memanjang disebut “neueeh” dari batang enau kayu ini dihubungkan dengan tali yang disebut “talde iniem” yang dihubungkan pada kayu melengkong dibagian paling depan yang disebut “yok” yang berfungsi agar “yok” untuk mudah dibuka pasang dan mudah dinaik turunkan.
Pada yok diberi anyaman rotan yang disebut ‘talde taku” berbentuk bulan sabit yang berfungsi agar tekuk kerbau tidak terluka.
Antara yok dengan neu eeh diberi tali “ineum” sebagai pembatas jok dengan neu eeh, agar yok ketika ditarik dipakai tali pengikat antara ujung yok dengan boh langai yang disebut “talde linggang atau dham”. Pada hidung kerbau diberi dua tali kekang. Waktu membajak kerbau ditempatkan didepan dan tali dipundaknya dihubungkan dengan “neueéh” dan tali kekang ” dham/talò linggang berada disisi kiri kerbau, Tali linggang berfungsi sebagai tali pengendali keseimbangan agar kerbau dapat berjalan lurus.
Perlu kita ketahui posisi membajak hanya dapat dilakukan dengan mengambil posisi sebelah kiri. Oleh karena itu seorang pembajak senantiasa memberi aba-aba kepada kerbau atau sapi agar bergerak kesebelah kiri “wii”, maka tali kekang dipindahknan dengan mengayunkan kekiri. Sedangkan untuk kekanan hanya untuk meluruskan jalannya kerbau. Perlu kita catat tali linggang hanya dipakai bila membajak dengan satu kerbau jika menggunakan dua kerbau tidak diperlukan tali tersebut, karena secara otomatis terjadi keseimbangan antara gagang langai dengan neušeh. Membajak tanah sawah dilakukan pada pagi hari saat matahari. terbit dan berhenti disekitar pukul 11 pagi dan jarang sekali kita ketemukan orang membajak siang atau atau sore hari. Hal ini untuk menghindari sengatan mata hari serta untuk beristirahat.
Pada saat membajak agar suasana tidak hening, maka sipembajak berteriak untuk memacu semangat agar kerbau bergerak cepat, dengan kata-kata “Treeeut haii…Wiiiiiii hai…eutuah, u wi kajak hai….wiie eee Haii, kajak beu bagah….” dan sebagainya, sekali kali kerbau dicambuk (cinut) sekedarnya agar berjalan lebih cepat.
Bila kerbau bertingkah “séumaluun” tidak mau menarik te riakan keras berubah dari pujian menjadi cercaan, “hali geulantee tak, ka tarak laju si urat treuk… treuk…Nyo beu oë kajak, ku sikeuh wate’meugang singoh… Makian juga menambah pagi hari…”maaa… keuh naa”… dan berbagai cercaan lainnya yang membuat orang lalu lalang disawah menjadi tertawa gembira mendengarnya.
Bila kerbau bertingkah tidak mau berjalan tapi langsung tidur agar kerbau bangkit lagi maka dibakar daun kelapa kering didekatkan ketubuh kerbau, karena kepanasan kerbaupun bangkit lagi. Setelah tanah dibajak pada tahap pertama dilanjutkan penghalusan dengan membajak tahap kedua.
Bajak kedua kalinya dilakukan dengan menggunakan mata bajak “mata langgai” khusus berbentuk garpu yang disebut dengan istilah “creueh” hingga tanah menjadi rata dan hancur menjadi berlumpur seperti bubur untuk kemudian siap ditanami bibit. Dari istilah kerja “creueh” muncul adegium “hana deéuh bùt langgai nyang deùh but creueh” ungkapan ini dipakai untuk menyindir orang yang tidak tahu menghargai jasa orang pertama tapi lebih menghargai jasa orang terakhir.
Kerbau atau sapi bahkan dibeberapa tempat juga dipakai kuda terlebih dahulu dilatih dan di ajarin untuk dapat menarik bajak, setelah dianggap jinak barulah digunakan untuk menarik bajak. Kalau seorang membeli kerbau atau sapi untuk keperluan pertanian dan membawanya pulang kerumah.
Sesampai dirumah dilakukan ritual berupa upacara sederhana yang lebih banyak berdasarkan kebiasaan semata. Pemilik baru lalu memanggil isteri atau anaknya dan meminta dibawakan turun dari rumah sebuah gayung air yang disebut “cinu” penuh berisi air putih dan segenggam beras padi “seuréugam breueěh pade”. Cinu dapat berupa gayung terbuat dari tempurung kelapa, atau tembikar dari tanah atau dari seludang pinang. Kemudian dengan mengucapkan bassmalah “beùseumelah”, si pemilik baru menyiramkan air itu ke atas kepala kerbau dan kemudian ditaburi beras padi “breueh pade”.
Tabu Bijeh (Persemaian)
Sebelum kita lanjutkan dengan persemaian terlebih dahulu kita perlu mengetahui jenis padi yang dipakai terutama yang berhubungan dengan tempat dan waktu penanaman. Tercatat ada 9 jenis padi yang dibudi-dayakan, kesembilan jenis padi tersebut adalah;
padé blang, yaitu padi yang ditanam disawah biasa bukan dirawa; padé paya, yaitu padi yang ditanam dirawa atau bueng pada dataran rendah; padé away, padi yang berumur pendek, yaitu padi berumur lebih panjang: padé teungoh, yaitu padi yang berumur antara pendek dan panjang usianya; padé teunaboe, yaitu yang berasal dari semaian; padé doěk’, yaitu padi semaian langsung, padé peunöela yaitu padi yang bibitnya dari semaian yang dipindahkan kesawah, padé seuneulöng yaitu padi yang benihnya pindahan dari tempat semaian.
Dari nama padi tersebut dan cara persemaian beberapa diantaranya dewasa ini tidak diketemukan lagi.
Cara menanam benih yang lazim ditanam, yaitu tabu dan tabu duek serta “seunéulhõng”. Dengan cara tabu duek, benih langsung ditabur diladang tidak disemai lebih dahulu.
Arti duek disini adalah tetap, arti tidak dipindahkan ketempat lain sampai padi dapat dipanen. Tabu biasa, bibit disemai pada lahan berair atau dapat juga pada lahan kering. Umumnya dipilih lahan basah karena jika bibit sudah tumbuh akan mudah dipindahkan. Persemaian pada lahan kering bibit padi disemai pada lahan yang sudah dipersiapkan yang sudah dibajak. Pekerjaan itu disebut “tabu” atau “teunabu” kadang kala disebut juga dengan istilah “seupreuk”.
Pada persemaian basah bibit padi lebih dahulu direndam satu malam setelah berkecambah yang disebut “mumiéng”. Kemudian disemai pada tempat yang s “pade teùnabu”. Setelah tumbuh kira kira 2-3 bulan diatur jaraknya dengan cara dijarangkan atau dirapatkan dengan mencabut dan atau menambah tanaman sehingga sama jaraknya. Pekerjaan menjarangkan disebut “Thaih” atau “seumeulhaih” Pekerjaan menjarangkan atau merapatkan batang dilakukan pada musim keunong 5 atau keunong 3.
Pada sistim ini memerlukan waktu yang cukup untuk menyiangi rumput “eùmphôi” karena pada awal tanam tanah masih kering dan akar rumput masih banyak tersisa dalam tanah kemudian cepat tumbuh kembali. Menylangi rumput dilakukan dengan sebuah cangkul kecil yang disebut “tuköy”. Keuntungan sisitim ini masa tanam tidak tergantung pada curah hujan dan hasilnya lebih baik dari sistim tabu biasa, baik mutu maupun dalam hal persiapan bibit.
Padi sistim tabu diperlukan banyak benih, pada tanah yang sudah dibajak diladang kemudian ditaburkan benih. Sesudah benih ditaburkan kamudian ditutup dengan tanah memakai bajak “langgal” mata khusus yaitu berbentuk garpu “crouch” yang dibuat dari kayu, langgal ditarik oleh lembu atau kerbau. Garpu dipasang dibagian bawah seperti halnya pada bajak biasa, cara ini biasanya dilakukan dipantai timur dan pantai barat Aceh.
Cara menyemai padi ladang dilakukan dengan cara menabur yang disebut “tabu duek (duduk). Arti duek’ disini adalah tetap, dalam arti bibit yang tumbuh tidak dipindahkan ketempat lain sampai padi itu dapat dipanen.
Seuneulhong
Cara kedua untuk mendapatkan bibit padi adalah dengan sistim membuat tempat persemaian untuk menabur bibit padi yang pada tempat persemaian pada lahan yang sudah disiapkan untuk memperoleh “seuneulhong”.
Bibit yang didapatkan dengan cara ini disebut “pode peùnula” di Aceh Timur disebut “neuduk”, Bibit dapat disemal pada tempat berair dan dapat juga lahan yang kering, Cara ini yang paling banyak dipakal, terutama bagi sawah yang berawa, selain itu metode ini memudahkan melakukan pencabutan rumput (ureu’h/meu urauh),” dengan suatu alat yang disebut “tukoi”. “Sistim “seuneulong” dipilih karena bisa dilakukan penanaman benih tidak saja pada musin hujan, tapi juga musim kemarau.
Di Aceh Besar umumnya memakai sisitim ini. Lamanya semai 44 hari kemudian dicabut dan keesokan hari ditanam pada sawah yang telah persiapkan.
Umumnya lebih dipilih pada tempat yang basah karena jika bibit sudah tumbuh akan lebih mudah dipindahkan dari lahan yang kering. Sedangkan yang diperoleh dengan sistim tabu “pade téunabu”. Cara ini umumnya dipakai pada sawah yang berawa dan kadangkala juga dilakukan pada sawah yang kering dengan resiko bila hujan tidak kunjung datang bibit akan kekeringan dan mati. Untuk menghindari resiko persemaian bibit ditunda sampai musim hujan tiba. Menanam bibit persemaian sama caranya dengan disawah. Waktu yang diperlukan antara penaburan benih dengan pemindahan bibit padi kesawah berkisar 44 hari, namun sangat tergantung pada keadaan dan musim.
Ladang
Sebagimana sudah disebutkan terdahulu, selain didataran rendah tanaman padi juga dilakukan didataran tinggi didekat bukit dengan menebang hutan kecil dan membukanya menjadi lahan pertanian yang disebut “ladang”.
Menanam padi diladang dilakukan dengan membersihkan sebidang tanah didataran tinggi “tunong” dekat hutan. Setelah 44 hari lahan yang masih belum bersih sampahnya dibakar terlebih dahulu, membakarnya dipilih harus pada hari rabu. Menanam padi di ladang dilakukan dengan sistim menajuk “tajok” yaitu dengan sepotong tongkat yang disebut “dugay atau tukaöy” dibuat lobang pada tanah kemudian padi dimasukkan kelobang itu. Pekerjaaan menanam padi umumnya dilakukan oleh laki laki dan prempuan.
Sawah yang berbentuk miring dikaki bukit disebut “sengekedan” yaitu menurun/bertingkat sehingga mudah air mengalir.
Umumnya ladang dibuka di sekitar kawasan yang dekat dengan hutan atau rimba pada dataran tinggi tunòng”, terutama sekali dibuka orang disekitar daerah kawasan pedalaman timur dan barat tanah-tanah yang semula digarap untuk ladang sesudah ditanami padi setahun atau dua tahun kemudian dijadikan sebagai kebun lada atau dimanfaatkan untuk tanaman tebu, campli, bawang dan palawija lainnya. Pembukaan lahan dilakukan dengan menebang pohon-pohon. Kemudian setelah kayu dikeringkan selama 44 hari, maka pada hari rabu terakhir “rabu abéh” kemudian semua kayu itu dibakar.
Setelah hujan turun tanah menjadi lembek, lalu dibuat lubang-lubang pada tanah yang disebut “uruek” dengan menggunakan sebuah tongkat dari kayu yang disebut “dugay atau tukay”. Cara menanam seperti ini disebut “tajök” atau kadang disebut juga “tugal” alat ini berbentuk bugem menyerupai kemaluan laki-laki yang ditancapkan ketanah secara teratur.
Kemudian kedalam lubang dimasukkan beberapa butir padi sebagai bibit bila sudah tumbuh bila terlalu rapat maka dijarangkan batangnya dengan mencabut dan membuangnya yang dianggap tidak perlu.
Sebutan pade ladang sekarang ini lebih popular disebut padi “pade tajok” dan masih dibudi dayakan orang disekitar Aceh Rayeuk, terutama disekitar Janto, Seulimuem, Lhoong, Leupung dan di tempat-tempat lain di Aceh. Kendati masa tanam padi ini relatif lebih lama dibandingkan dengan padi biasa, yaitu berkisar 4-5 bulan sedangkan padi biasa 3-4 bulan. Namun petani didaerah itu masih giat membudi-dayakannya karena disukai oleh konsumen dengan harga jual lebih tinggi serta kualitas beras yang dihasilkan lebih bagus. Keuntungan lain yang didapat padi ladang tidak memerlukan pupuk dan waktu untuk mengolah tidak terlalu lama sekitar 15 hari sudah dapat ditanam. Masa tanam padi ini dilakukan pada bulan September (keunong 5) dan oktober (keunong 3) setiap tahunnya. Berbeda dengan nama padi yang disebut dalam Kamus Bahasa Belanda-Aceh jenis padi ladang disebut dengan nama -nama; pade alõih, pade guci rayeuk; pade guci cut; pade jeumpa gadeng; pade jeumpa puteh.
Sudah dan akan banyak kita sebut mengenai Angka 44 dalam tuisan ini, sepertinya angka ini merupakan angka yang banyak digunakan dalam berbagai kegiatan pertanian dan juga dalam banyak hal dipakai dalam masyarakat Aceh, Misalnya angka itu juga digunakan bagi ibu yang habis melahirkan. Memasang batu nisan serta jenis ramuan obat obatan khas Aceh yang dikenal dengan sebutan “awéuh péut plöh péut”. Menurut JJC. Van Waardenberg¹2 jenis padi juga berjumlah 44 Jenis. Kendatipun jenis padi bertambah telah bertambah lebih dari 44 jenis namun tetap disebut 44.
Adapun jenis padi yang bertambah menjadi 63 jenis sebagai berikut; 1. “Padé manja’, 2. Padé dara, 3. Padé meu’-tjië, 4. Padé boelat ba, 5. Padé boenténg, 6. Padé sroh, 7. Padé meu’-ië tjoet, 8. Padé meu’ikoe manö, 9. Padé meu’asõë, 10. Padé boeleuën peunõh, 11. Padé koenèng, 12. Padé masa’, 13. Padé roengkő’, 14. Padé adõ paya, 15. Padé bố, 16. Padé bõ tjoe, 17. Padé bõ rajeu, 18. Padé bố sõm bố, 19. Padé boengõng kareuëng, 20. Padé boengõng pineung, 21. Padé boengöng slimèng, 22.Padé brè, 23. Padé daroe geureubang, 24. Padé gatja, 25. Padé goerang, 26. Padé hō, 27. Padé itam le, 28. Padé leukat, 29. Padé man, 30. Padé manè tjoet, 31. Padé manè rajeu, 32. Padé manjam oe, 33. Padé mari, 34. Padé meuloe tjoet, 35. Padé meuloe rajeu, 36. Padé uelèë gadjah, 37. Padé pasèh, 38. Padé rasi, 39. Padé reunté, 40. Padé reunté, bi 41. Padé reunté’ boengöng slimèng, 42. Padé reunté’ karaih, 43. Padé reunté’ meulaboh, 44. Padé reunté’ meureuja, 45. Padé reunté sigeupa, 46. Padé sajo, 47. Padé seulas, 48. Padé si’ajoe, 49. Padé sihari, 50. Padé sihari wöjla, 51.Padé teungkoe saleh, 52.Padé kapay, 53. Padé keudah, 54.Padé poelő, 55.Padé poephön, 56. Padé inong (pade seuneulöng), 57. Padé oelè, 58.Padé gasay, 59. Padé wase, 60. Padé ayeuěm, 61.Padé boengöng, 62 Padé breuěh, 63. Padé sigö. Mengenai angka 44 dan angka 7 yang dipandang keramat.
Pantangan
Sebagaimana sudah disebutkan diatas dan juga dalam uraian lebih lanjut maka pada musim bersawah sangat pantang melakukan pekerjaan yang dilarang karena akan berakibat terjadi gangguan pada sawah yang akan digarap. Bila ada yang melepaskan hewan ternak disawah maka menurut adat boleh membacoknya sipemilik tidak boleh menuntut ganti rugi dalam bentuk apapun, tentu saja tahap awal diberi teguran lebih dahulu. Seorang petua atau Kejruen blang atau Keucik sangat berperan dalam hal ini, dan semua penduduk gampung mematuhi dan tidak ada yang berani menentangnya.
Adat melarang orang mengerjakan sawah pada hari jum’at dan hari Rabu akhir “Rabu abeh atau rabu keunéulhéueh karena dianggap hari tidak baik atau na’as “néuhai”.
Jika terjadi gempa atau bencana alam lainnya, maka diadakanlah kanuri apam atau kanuri kanji, karena dikuatirkan semangat padi telah hilang oleh karena itu jiwanya perlu dikembalikan. Sejak bibit disemai berlakulah pantangan, antara lain: sejak bibit padi ditabur sampai mencapai masa dewasanya, seorang pemilik sawah tidak dibenarkan membuang sesuatu dari rumahnya pada waktu matahari terbenam.
Begitu juga ia tidak boleh membakar bambu “trieng” karena butir-butir padi tidak akan berisi “sróh kulet”.Pada malam hari ia tidak boleh pergi ke sawah dengan membakar obor “sua” atau daun kelapa kering “bubeue”, untuk mencegah agar daun-daun padi tidak menjadi kering. Selama tanaman padi tumbuh di sawah, anggota-anggota keluarga wanita tidak boleh melepaskan rambutnya terurai “o’teugeureubang” hal ini untuk menghindar agar kulit butir padi tidak pecah dan dengan demikian akan menghilangkan isinya.
Jika bibit padi sudah ditabur tidaklah dibenarkan orang membawa bambu ke sawah; maksudnya, agar batang padi tidak berdiri tegak lurus “sanggong” jika sampai masanya padi merunduk karena berat. Menanam padi tidak dikerjakan ketika air laut sedang pasang “ie paseuông”, akibatnya: beras akan patah juga diusahakan agar orang selalu dalam keadaan kenyang “troe” untuk memperoleh butir-butir padi yang berisi penuh.
Apabila di sebuah rumah terjadi kematian, maka padi yang berada di rumah itu tidak boleh dipergunakan untuk bibit karena tidak akan tumbuh normal. Jika seseorang makan nasi dalam periuk “kanēt”, maka muka nya akan menjadi hitam waktu duduk pelaminan. Mengunyah beras, suatu pekerjaan yang disukai oleh anak-anak, akan menyebabkan rusaknya gigi karena dimakan ulat. Makan nasi dalam batok kelapa yang berkecambah dikatakan akan bermulut suka berfitnah. Juga ada pantangan membelah kelapa sambil berdiri tapi harus jongkok sebab pohon asalnya akan tumbuh tidak subur.
Khusus Perkawinan tidak boleh diadakan sebelum selesai musim panen. Hal serupa dijumpai juga pada tanaman muda seperti pada tanaman timun untuk mencegah hama atau serangga belalang “darùet géusong” dan ulat dimana orang meletakkan ditengah kebun setangkai pelapah kelapa yang muda yang masih beraroma dan diberi garis-garis dengan kapur sirih. Cara ini memang memberi hasil karena malam hari serangga akan berkumpul pada pelapah yang diberi kapur.
Setiap pekerjaan dimulai dengan “besemeullah”, bibit pertama disemai sebagai bibit “séunéulong” kearah kiblat, dan ketika kelak dicabut tujuh batang di antaranya ditanam khusus di sekitar tiang yang dipancang ditengah sawah. Jika padi yang ditanam tidak tumbuh dengan sempurna atau daunnya menguning baik karena gangguan hama atau faktor alam lainnya, maka dilakukan upaya perawatan sebagaimana biasanya. Selain itu diadakan kenduri apam atau kanuri kanji agar padi tidak hilang seumangatnya. Waktu padi sudah mulai berbuah “bungöng pade” para pemilik sawah membawa makanan berupa nasi dan lauknya untuk dimakan bersama dengan teman teman sesama petani atau siapa saja yang lewat di tempat itu, sebahagian lagi diletakkan pada pematang sawah agar aroma makanan itu dirasakan juga oleh batang padi dan selanjutnya dimakan oleh binatang yang ada di sawah. Acara ini kemudian disebut “jakbi bu pade” Selain dengan membawa nasi ketan, telur, dan jeruk perut dan buah-buahan dan juga sejumlah uang sebagai sedekah. Makanan yang diletakkan dipematang sawah boleh diambil oleh siapa saja yang lewat setelah pemiliknya meninggalkan sawahnya. Selain cara seperti ada juga yang melakukan hal yang serupa tapi sudah jarang sekali dilakukan orang karena dianggap tidak bermanfaat yaitu membawa makanan pada waktu menjelang magrib dan meletakkan di mulut pintu air dekat sawah.
Berbagai pantangan “palo” dipercayai dalam menanam padi yang apabila dilanggar akan menyebabkan padi tidak akan berbuah bahkan sebaliknya diserang hama. Setiap tahap dari kegiatan meugöè mulai musim pasca panen “luaih blang” sampai dengan penyimpanan padi dalam lumbung dan proses menumbuk padi menjadi beras tidak terlepas dengan upacara upacara “adat”. Kadang kalanya perbuatan adat itu dianggap tidak sesuai dengan akidah dan sudah banyak ditinggalkan orang. Selain bertani sawah juga diuraikan secara singkat pertanian Lada sebagai barang komoditi ekspor andalan dari Aceh pada masa kejayaan kerajaan Aceh Darussalam. Tanaman tebu sebagai bahan baku untuk memproduk gula “méulisan” dan hak-hak tanah menurut hukum adat Aceh pada masa zaman kerajaan tempo dulu serta ungkapan ungkapan dalam bahasa Aceh yang berhubungan dengan padi dan tanaman lainnya dan pengaruhnya dalam bahasa serta disertai dengan cuplikan bebarapa isi hikayat yang menyebut padi dan lampiran Hikayat Asay Pade. (Syamsuddin Daud dalam buku karyanya Adat Meugoe)