NOA | Abdya – Pengadaan aplikasi toko online Tokopika plot anggaran di Dinas Koperasi UKM dan Perindag, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) pada tahun 2020 dengan anggaran mencapai Rp 1,3 miliyar lebih itu diduga terjadi mark-up harga yang cukup tinggi, dan menyebabkan kerugian negara mencapai ratusan juta rupiah.
Terkait hal tersebut, Akmal Al-Qarasie yang merupakan Ketua Umum Pengurus Cabang Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Cabang Abdya menilai tidak ada alasan bagi Kajari Abdya untuk tidak menetapkan PPK dan Penyedia Tokopika tersebut sebagai tersangka.
“Kabarnya juga Kejari Abdya telah memperoleh temuan kerugian negara sejumlah Rp 500 juta. Selain PPK dan Penyedia sebagai tersangka, juga dalang di balik pengadaan Tokopika ini harus ikut di tangkap dan diperiksa,” tegas Akmal, Minggu (26/9/2021).
Lebih lanjut, Akmal dalam rilis yang diterima media NOA.co.id menyebutkan, pada Mei 2021 lalu, Kajari Abdya Nilawati mengatakan telah melakukan ekpose ke tingkat penyidikan terkait kasus aplikasi toko online ini.
“Dari hasil pemeriksaan sementara, pihaknya telah menemukan temuan kerugian negara sebesar Rp 500 juta, seharusnya kajari Abdya sudah mengantongi nama-nama untuk di tetapkan sebagai tersangka seperti PPK dan Penyedia,” kata Akmal.
Lanjut Akmal menilai kasus tersebut terkesan di gantung, sehingga memaksa pihaknya untuk segera akan menyurati Kajati Aceh untuk mencopot Kajari Abdya apa bila kasus ini tidak diungkapkan secepatnya.
“Karena bagi saya hukum di Aceh Barat Daya harus menjadi panglima, konsep equality before the law harus ada di intansi penegak hukum kita, karena setiap kita mempunyai hak yang sama di mata hukum, hukum tidak memandang bulu, mau itu pejabat, pengusaha dan rakyat jelata, kalau memang pengadilan memutuskan mereka bersalah, wajib dihukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di negara kesatuan republik Indonesia,” tegas Akmal.
Mengenai spanduk yang beredar di pusat kota Blangpidie untuk copot kajari Abdya mengatasnamakan SEMMI, Akmal sebagai ketua Umum membenarkan hal tersebut. Karena di tengah pandemi seperti ini agak sulit untuk pihaknya turun kejalan melakukan aksi.
“Hal ini kami lakukan atas dasar Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan,” terang Akmal. (RED)