NOA | Banda Aceh – Penabalan Aceh sebagai Nanggroe Syariat (Serambi Mekkah) tidaklah berlebihan. Selain sebagai tempat pertama masuknya Islam ke Nusantara, syariat Islam telah sepenuhnya dilaksanakan di Aceh sejak masa kerajaan Samudra Pasai pada 1267 Masehi, termasuk dalam bidang ekonomi.
Hal itu dikatan langsung oleh Kepala Dinas Syariat Islam EMK Alidar, Senin (15/08/2022).
“Uang emas, ‘Dierham’ telah digunakan pada masa Sultan Muhammad Malik Al-Zahir (1297-1326 M) di Samudera Pasai dan riba juga telah dilarang pada periode pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dan Sultan Iskandar Tsani (1636-1654 M). Kerajaan Aceh Darussalam juga telah mengatur pengelolaan harta wakaf di bawah otoritas ‘Balai Meusara’ sesuai amanat ‘Qanun Meukuta Alam’ atau ‘Qanun Al-Asyi’, Sebutnya.
Alidar menjelaskan Aceh Darussalam saat itu telah muncul sebagai salah satu dari dari lima kerajaan Islam terbesar dunia. Aceh Darussalam telah manjadi pusat tamadun dan perdagangan penting di Nusantara.
Bahkan sejak mengambil alih peran Melaka sebagai pusat politik dan perdagangan pasca kejatuhan kerajaan Melaka ke tangan Portugis, Aceh semakin terkenal sebagai sentra rempah dan pelabuhan entreport (pintu gerbang ekspor dan impor) internasional. Kejayaan Aceh pada masa silam tidak terlepas dari pelaksanaan syariat Islam dalam segala bidang, termasuk ekonomi.
“Rakyat Aceh yang Islami, sangat menyakini bahwa kemakmuran ekonomi hanya dapat diwujudkan dengan penerapan syariat Islam. Tidak dapat dipungkiri bahwa terpuruknya perekonomian Aceh, dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran Aceh yang melebihi level nasional beberapa tahun terakhir, dan disparitas pendapatan antarmasyarakat Aceh yang masih tinggi, di antaranya disebabkan oleh kondisi dimana perekonomian Aceh belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam,”ujarnya.
Menurutnya, walaupun pelaksanaan syariat Islam sudah dilaksanakan di Aceh, namun masih bersifat parsial dan belum meliputi aspek perekonomian. Hampir selama 70 tahun pasca kemerdekaan Indonesia, pelaksanaan syariat Islam dalam aspek ekonomi di Aceh belum memiliki landasan legal formal khusus.
“Meskipun payung hukum pelaksanaan syariat Islam dalam bidang ekonomi secara luas telah tertuang dalam UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewan Keistimewaan Aceh, Qanun No. 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, UU. No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Qanun No. 2 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama, Fatwa MPU No. 11 tahun 2013 tentang Kearifan Lokal Ekonomi Syariah, dan Qanun No. 8 tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam,” jelasnya.
Namun begitu Alidar katakan baru pada tahun 2018 Aceh memiliki payung khusus pelaksanaan ekonomi syariah yang tertuang dalam Qanun No. 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Ia juga menyebutkan lahirnya Qanun No. 11 tahun 2018 tentang LKS merupakan rahmat terbesar dan kado terindah bagi masyarakat Aceh yang patut disyukuri.
“Qanun LKS ini mengamanatkan semua lembaga keuangan, baik bank, nonbank, dan keuangan informal lainnya harus beroperasi sesuai dengan prinsip syariah. Qanun LKS yang berisi 67 Pasal ini mengatur dan memberi panduan kepada pemerintah dan instansi terkait serta para pemangku kepentingan dalam pelaksanaan LKS sesuai dengan prinsip syariah di Aceh,”ungkapnya.
Lanjutnya, salah satu faktor penting terjaminnya operasional LKS sesuai syariah adalah keberadaan Dewan Penasehat Syariah (DPS) baik di level LKS, Dewan Syariah Aceh (DSA) di level kabupaten/kota, dan DSA di level provinsi. Kedudukan, fungsi, dan wewenang DPS dan DSA diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 49. DSA berperan melakukan pengaturan, koordinasi, dan pengawasan syariah (Pasal 46, Ayat 1), dan berfungsi sebagai perwakilan Dewan Syariah Nasional (DSN) (Pasal 46, Ayat 2).
Sedangkan wewenang DSA secara rinci tertuang dalam Pasal 37, diantaranya: untuk melakukan koordinasi dan konsolidasi antar DPS pada setiap LKS dan DSK, mengatur dan mengawasi LKS lainnnya yang belum memiliki DPS, menjadi penghubung antara LKS dan pemerintah, meningkatkan koordinasi terkait edukasi keuangan syariah kepada masyarakat, melakukan sertifikasi DPS setelah berkoordinasi dengan DSN-MUI, dan mempertimbangkan rekomendasi MPU dan perundang-perundangan yang berlaku terkait LKS.
Berikut ini beberapa rencana kerja dan langkah strategis yang harus dilakukan DSA dalam mengawal implementasi Qanun LKS. Pertama, untuk memastikan pembiayaan LKS untuk UMKM minimal 30% pada 2020 dan 40% pada tahun 2022 (Pasal 4, Ayat 4), DSA harus berkoordinasi dengan LKS dan UMKM dan meminta LKS untuk menyampaikan rencana realisasi pembiayaan untuk UMKM secara periodik dan langkah-langkah strategis LKS dalam memenuhi tuntutan Qanun LKS.
Kedua, untuk memastikan pembiayaan berbasis bagi hasil LKS minimal 10% pada 2020, 20% pada tahun 2020, dan 40% pada tahun 2024 (Pasal 14, Ayat 7), DSA harus segera berkoordinasi dengan LKS dan meminta LKS untuk menyampaikan rencana realisasi pembiayaan berbasis bagi hasil secara periodik dan langkah-langkah strategis LKS dalam memenuhi tuntutan Qanun LKS.
Ketiga, agar bank syariah dapat melaksanakan fungsi sosial, di antaranya dengan menghimpun dana zakat dan infak atas nama Baitul Mal Aceh (BMA), sedakah, wakaf, dana hibah, dan dana sosial lainnya untuk kepentingan umat (Pasal 15), maka DSA perlu berkoordinasi dengan Bank Syariah dan BMA agar kedua lembaga tersebut segera bersinergi.
Keempat, dalam mendorong pembiayaan UMKM oleh bank syariah agar dapat bekerjasama dengan BMA/BMK (Pasal 16), dengan pola integrasi dana zakat dan infak dan dana sosial lainnya (Pasal 16 & 38, Ayat 7 & 8), DSA harus segera melakukan koordinasi dengan Bank Syariah dan BMA, dan memastikan kesiapan dan program kerja yang dilakukan kedua lembaga tersebut terkait pemberdayaan UMKM.
Kelima, dalam rangka peningkatan edukasi, literasi keuangan syariah, melakukan penelitian dan inovasi kerjasama antara Bank Syariah dan pemerintah (Pasal 17), DSA perlu melakukan koordinasi agar Bank Syariah dapat bersinergi dengan pemerintah untuk melakukan edukasi dan peningkatan literasi keuangan syariah, penelitian dan inovasi LKS.
Keenam, agar terwujudnya koordinasi antara Bank Syariah, regulator, dan pemerintah minimal 2 tahun sekali (Pasal 18), maka DSA perlu menyarankan penyusunan jadwal dan agenda pertemuan rutin antara Bank Syaraiah, regulator, dan pemerintah minimal 2 tahun sekali, dan melaporkan perkembangannya kepada publik melalui media relevan.
Ketujuh, dalam membantu pemberian insentif oleh pemerintah terhadap LKS yang berkineja baik (Pasal 20), DSA perlu berkoordinasi dengan pemerintah agar pemberian insentif dapat dilakukan setiap tahun dan membantu menyusun mekanisme dan kriteria LKS berkinerja baik.
Kedelapan, agar pemerintah dapat mengeluarkan sukuk (obligasi syariah) dalam mempercepat pembangunan Aceh (Pasal 23, Ayat 7), DSA perlu berkoordinasi dengan pemerintah dan memberi pertimbangan-pertimbangan syariah dalam mengeluarkan Sukuk Aceh, tentunya setelah berkoordinasi dengan pihak terkait, seperti regKesembilan, DSA dalam menjalankan tugasnya dalam pengaturan, koordinasi, dan pengawasan syariah (Pasal 46 Ayat 1) sebagai Perwakilan DSN-MUI (Pasal 46, Ayat 2) harus menginisiasi pertemuan rutin dengan DPS dan DSK untuk membahas perkembangan kepatuhan syariah LKS.
“DSI sebagai representatif pemerintah harus mensosialisasi kedudukan dan peran LKS dalam memperkuat perekonomian Aceh secara reguler kepada masyarakat dalam berbagai forum dan media dan mengomunikasikan perkembangan LKS ke publik secara reguler. Semoga,” Demikian Alidar. []