Meulaboh – Penjabat (Pj) Bupati Aceh Barat, Mahdi Efendi, menginstruksikan jajaran terkait di Pemkab Aceh Barat untuk segera melakukan langkah konkret guna mencegah terulangnya konflik antara satwa liar yang dilindungi dengan manusia, terutama di kawasan pedalaman yang kini telah menjadi ladang usaha tani dan usaha pertambangan.
Instruksi tersebut disampaikan melalui Juru Bicara Pemkab Aceh Barat, Hidayat Isa SE, pada Senin (22/07/2024). Hal ini merespons konflik antara gajah dengan masyarakat di Sungai Mas, Tanoh Mirah Woyla, Gampong Cot Situah, Alue Panyang, Panton di Woyla Barat, Alue Keumuneng Woyla Timur, Paya Mengendrang, dan Gampong Alue Keumuneng di Kabupaten Aceh Barat.
“Pemkab akan segera melakukan langkah-langkah mitigasi untuk mengatasi masalah tersebut,” kata Hidayat.
Atas nama Pemkab Aceh Barat, Hidayat menyatakan keprihatinan mendalam atas konflik lintas makhluk tersebut dan berharap semua pihak mengambil pelajaran dari fenomena alam tersebut.
“Kami sangat prihatin dengan kondisi yang terjadi. Banyak kebun warga yang rusak akibat kehadiran gajah liar,” ujar Hidayat di Meulaboh.
Sebagai langkah awal, kata Hidayat, Pemkab akan melakukan koordinasi intensif dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh. Hal ini bertujuan untuk mencari solusi yang efektif dan berkelanjutan guna mengurangi konflik antara manusia dan satwa liar.
Hidayat menegaskan komitmen Pemkab Aceh Barat dalam menangani masalah gajah liar yang sering masuk ke kebun warga.
“Situasi ini telah menjadi perhatian serius Pemkab Aceh Barat, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat,” tandasnya.
Di sisi lain, Hidayat menambahkan bahwa kerja sama dengan BKSDA dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh diharapkan dapat menghasilkan solusi jangka panjang yang mampu mengurangi konflik antara manusia dan satwa liar, serta meminimalkan kerugian yang dialami oleh masyarakat setempat.
Kepala Resor Konservasi Wilayah Eksitu Meulaboh, BKSDA Aceh, Dessi Novita Sari, S.Si, mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan upaya penghalauan gajah liar sebanyak tiga kali dalam kurun waktu tiga bulan terakhir.
“Penghalauan dilakukan dengan menggunakan mercon, dan metode ini terbukti efektif untuk sementara waktu. Ini adalah langkah yang paling mungkin dilakukan saat ini,” ujar Dessi.
Dessi menambahkan bahwa tim yang diturunkan ke lapangan masih melakukan upaya-upaya mitigasi jangka pendek, yang tidak permanen. Untuk solusi jangka panjang, dibutuhkan waktu dan biaya yang besar. Oleh karena itu, Dessi berharap adanya dukungan dari pemerintah daerah terkait isu konservasi ini.
Namun, Dessi juga mengungkapkan bahwa perubahan fungsi lahan menjadi persoalan utama.
“Banyak hutan produksi yang telah berubah menjadi lahan tambang, sehingga gajah merasa tidak mempunyai tempat yang aman lagi. Akibatnya, mereka berpindah dari kebun ke kebun lainnya setelah diusir,” jelasnya.
Dessi berharap segera menemukan solusi jangka panjang yang dapat mengurangi konflik antara manusia dan satwa liar, serta menjaga keseimbangan ekosistem di wilayah tersebut.
Editor: Redaksi