Oleh : Teuku Faizasyah (Duta Besar Indonesia untuk Norwegia dan Islandia)
Kalaulah ada satu ruangan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Oslo, Norwegia yang paling banyak menyimpan cerita, pastilah ruang pelayanan kekonsuleran tempatnya. Di setiap hari kerja, pengunjung datang ke ruangan tersebut dengan beragam motif, termasuk di antaranya untuk mengurus visa kunjungan ataupun dokumen perjalanan (paspor) Indonesia.
Terkait visa kunjungan, khususnya untuk wisatawan, walaupun wisatawan asal Norwegia dapat memperolehnya saat tiba di pintu Imigrasi di Indonesia, tidak sedikit yang memilih untuk mengajukan visa di KBRI. Dengan berbekal sedari awal visa kunjungan selama 60 hari, mereka dapat memaksimalkan waktu berliburnya di Indonesia sejak ketibaan dan di sisi lain mendapatkan kenyamanan (peace in mind).
Biasanya, saat menunggu di ruang konsuler, para diaspora Indonesia berbagi kisah hidup yang unik dan beragam. Saya kerap menyampaikan pesan kepada Pak Nico Adam selaku Koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler untuk memberitahu setiap ada diaspora Indonesia yang berkunjung ke KBRI. Apabila ada waktu kosong, saya akan menemui mereka untuk bersilaturahmi dan berbincang-bincang.
Pada bulan November ini, saya berkesempatan bertemu dengan beberapa diaspora Indonesia yang memutuskan untuk memilih Norwegia sebagai tuan rumah kedua mereka. Ragam latar belakang mereka untuk berdiam di Norwegia menjadi pembeda dari sisi proses. Ada yang menikah dengan warga negara setempat dan kemudian memutuskan untuk ikut bermukim dengan pasangannya. Ada pula yang awalnya melakukan studi lanjutan S2 maupun S3, lalu mendapat peluang kerja dan akhirnya memutuskan untuk menetap.
Apapun yang melatarbelakangi pilihan untuk tinggal di Norwegia, mereka tetap menunjukkan cinta Tanah Air dengan beragam rupa dan cara, sebagaimana yang dikisahkan empat diaspora Indonesia dalam percakapannya dengan saya. Sebutlah, Pak Risvan Dirza yang biasa dipanggil Ivan. Setelah menyelesaikan program Doktor dari NTNU di Trondheim pada awal tahun 2024, Ivan yang kelahiran 1987 di Binjai, Sumatera Utara, ini memutuskan untuk bekerja sebagai prinsip insinyur di ladang gas (LNG) perusahaan Equinor di Hammerfest.
Di Kota Hammerfest, di bagian Utara Norwegia tersebut—termasuk dalam cakupan wilayah Artic Circle—kabarnya hanya ada lima orang Indonesia. Ivan dan istrinya (Shintami asal Aceh) dan dua anak mereka, serta satu orang lagi warga negara Indonesia yang juga bekerja di sektor pertambangan.
Sebagai wujud rasa cinta Tanah Air, Ivan memberikan sumbangsih dengan mengadakan kuliah jarak jauh melalui zoom bagi para pelajar Indonesia di salah satu perguruan tinggi di Kota Medan.
Sumbangsih serupa dilakukan Ibu Nuri Dyah Soeseno, yang menikah dengan warga negara Norwegia. Ibu Nuri tetap mengabdi sebagai dosen Ilmu Politik di Universitas Indonesia dan memberikan waktunya untuk mengampu perkuliahan. Sementara di Norwegia, Ibu Nuri melakukan kerja sosial di salah satu pusat krisis di Kota Kristiansund. Pusat krisis tersebut memberikan layanan bagi para perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Diaspora lainnya, Ibu Natalia Ardanari Mjøsund yang akrab dipanggil dengan nama Mbak Elok, bekerja sebagai ketua tim di bidang infrastruktur dan tata kota di kota Trondheim. Mbak Elok, yang jebolan S-1 arsitektur Universitas Parahyangan, Bandung, dan menyelesaikan S-2 di perguruan tinggi di Kota Trondheim menjadi ‟duta Indonesia″ dengan memperkenalkan sistem busway di Jakarta ke Kota Trondheim. Mbak Elok menjelaskan bahwa Kota Trondheim membangun sistem transportasi massal dengan mencontohkan pengalaman Jakarta.
Wujud cinta Tanah Air juga mereka tampilkan dengan pulang kampung dari waktu ke waktu, seraya dengan selalu mempromosikan keindahan Indonesia ke keluarga dan rekan-rekan mereka asal Norwegia.
Ibu Novita Rambu Anahida Sangguwali asal Sumba Timur yang juga sempat saya temui di ruang konsuler, kala itu tengah mengurusi dokumen perjalanan untuk pulang kampung bersama-sama dengan suami warga negara Norwegia beserta anak-anak mereka. Ibu Novita, yang mengajar di Rosenholm Skole, tampak sangat bersemangat menghabiskan liburan tutup tahun di Tanah Air.
Pada akhirnya, penggalan kisah hidup empat diaspora Indonesia di Norwegia ini mengingatkan saya akan pepatah lama, ‟di mana bumi dipijak di situ langit di junjung″. Kiranya, cinta mereka terhadap kampung halaman ‟tidaklah sepanjang galah, namun tetap sepanjang masa″.