Simeulue – Beberapa pekan terakhir, para nelayan dan pembudidaya di Simeulue, Aceh, menghadapi masalah besar dengan anjloknya harga gurita dan lobster yang menjadi komoditas utama mereka. Penurunan harga itu terjadi dengan cepat dan signifikan, menyusul penurunan permintaan pasar ekspor, serta adanya kendala dalam distribusi dan pengolahan hasil laut yang belum optimal.
Bagi banyak nelayan dan pembudidaya lokal, hal ini berdampak langsung pada
pendapatan mereka yang kini jauh berkurang. Harga gurita yang sebelumnya dapat dihargai sekitar Rp 105.000 per kilogram, kini hanya dihargai Rp 40.000 hingga Rp 50.000 per kilogram.
Begitu pula dengan harga lobster, yang pada masa-masa sebelumnya dapat diperdagangkan dengan harga Rp 750.000 per kilogram, kini terjun bebas menjadi sekitar Rp 70.000 hingga Rp 80.000 per kilogram. Penurunan harga yang drastis ini membuat banyak nelayan dan pembudidaya kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dampak dari anjloknya harga komoditas laut ini sangat dirasakan oleh masyarakat Simeulue, terutama mereka yang menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan laut. Salah satu nelayan, Rosamin K, mengungkapkan kekecewaannya.
“Kami sudah bekerja keras di laut, tetapi hasilnya jauh dari harapan. Biaya operasional seperti bahan bakar, perlengkapan, dan tenaga kerja sudah semakin mahal, sementara harga jual anjlok begitu tajam,” katanya.
Terkait hal itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Simeulue, Muhammad Carles, S.ST.Pi.,M.Si, menjelaskan bahwa penurunan harga ini sebagian besar disebabkan oleh penurunan permintaan dari pasar internasional. Negara-negara tujuan ekspor utama seperti Jepang, China, Hongkong dan Uni Eropa mengalami penurunan daya beli akibat ketidakpastian ekonomi global. Hal ini mempengaruhi permintaan terhadap produk perikanan, khususnya lobster dan gurita.
“Ini adalah situasi yang sulit bagi para nelayan dan pembudidaya kami. Namun, kami juga terus berusaha mencari solusi. Selain faktor pasar ekspor, masalah distribusi lokal juga berkontribusi pada penurunan harga. Kadang hasil laut yang sudah ditangkap terlambat sampai ke konsumen karena kurangnya infrastruktur yang memadai,” ujar Carles.
Ia menambahkan bahwa pemerintah daerah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan berupaya untuk meningkatkan kapasitas pengolahan hasil laut di Simeulue. Hal itu diharapkan dapat meningkatkan nilai jual produk perikanan, baik untuk pasar domestik maupun internasional.
Meski demikian, Carles, juga mengakui bahwa untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan waktu dan investasi yang tidak sedikit. Untuk itu, pihaknya berencana mengadakan pelatihan bagi nelayan dan pembudidaya agar mereka bisa mengolah hasil laut dengan cara yang lebih efisien dan bernilai tinggi.
“Selain itu, pemerintah daerah juga berupaya memperbaiki sistem distribusi, termasuk melalui kemitraan dengan pengepul yang dapat menyalurkan produk dengan lebih cepat ke pasar,” ujarnya. Dalam hal ini, Kadis Kelautan dan Perikanan menyarankan agar pemerintah pusat memberikan perhatian lebih pada sektor perikanan di daerah-daerah terpencil seperti Simeulue.
“Simeulue memiliki potensi besar dalam sektor perikanan, tetapi kami masih menghadapi banyak tantangan, terutama terkait dengan infrastruktur dan pemasaran. Kami berharap ada dukungan lebih besar dari pemerintah pusat dalam memperbaiki kondisi ini,” ujarnya.
Kemudian kata Kadis kelautan dan perikanan itu, Anjloknya harga lobster selain ada penurunan di pasar global, juga dipicu oleh meningkatnya pasokan dari Negara – negara lain selain Indonesia, memang menjadi tantangan besar bagi para pembudidaya lokal.
Bagi masyarakat, harapan terbesar mereka adalah agar pemerintah bisa memberikan bantuan yang nyata untuk meringankan beban mereka. “Kami berharap ada program yang bisa membantu kami bertahan di tengah harga yang jatuh ini. Bantuan untuk modal kerja atau program pelatihan pengolahan hasil laut sangat kami butuhkan,” kata Aldi nelayan lainya di Simeulue.
Aldi berharap, dengan adanya pelatihan, para nelayan tidak hanya bergantung pada penjualan hasil tangkapan mentah, tetapi juga bisa memasarkan produk olahan yang lebih tahan lama dan lebih bernilai jual. “Kami ingin ada cara agar hasil laut bisa terus dipasarkan meski harga pasar turun. Jika ada olahan, kami bisa
menjualnya dalam bentuk yang berbeda dan lebih bertahan lama,” tambahnya.
Selain itu, banyak nelayan juga berharap adanya kebijakan yang dapat memperbaiki sistem pemasaran dan distribusi hasil laut. Di Simeulue, seringkali hasil tangkapan harus menempuh perjalanan jauh untuk sampai ke pasar, yang menyebabkan biaya distribusi menjadi tinggi dan harga jual menjadi tidak kompetitif.
“Kami ingin ada pembenahan dalam sistem distribusi, terutama untu daerah terpencil seperti Simeulue,” kata Ridwan, seorang pembudidaya lobster. Namun, masyarakat juga menyadari bahwa untuk keluar dari situasi ini, mereka perlu beradaptasi dengan kondisi pasar yang terus berubah. Oleh karena itu, mereka mengharapkan agar pemerintah tidak hanya fokus pada bantuan sementara, tetapi juga memberikan solusi jangka panjang yang bisa meningkatkan daya saing produk perikanan lokal di pasar global.
Para nelayan dan pembudidaya juga berharap adanya kebijakan yang dapat meningkatkan ekspor produk perikanan dari Simeulue. Meningkatnya permintaan pasar
internasional dapat menjadi salah satu solusi agar harga kembali stabil. “Kami
siap bekerja keras jika ada pasar yang stabil dan menguntungkan,” ujar Ahmad, seorang nelayan yang kini merasakan dampak penurunan harga.
Di tengah ketidakpastian ini, harapan besar disematkan pada upaya pemerintah untuk mengembangkan sektor kelautan dan perikanan yang lebih berkelanjutan, serta membuka peluang baru bagi masyarakat pesisir. Dengan adanya dukungan dari semua pihak, diharapkan para nelayan dan pembudidaya di Simeulue dapat kembali bangkit dan menjaga kelangsungan hidup mereka. (ADV)
Editor: Redaksi