Center of Competence for Climate Change, Environment and Noise Protection di Aviation Hessen Alesya Krit menyarankan pentingnya berpikir secara lokal dalam upaya mendorong ekonomi sirkular .
“Kita harus berpikir lokal dan menyesuaikan solusi dengan wilayah tujuan, serta cocok dengan dimensi sosial dan budaya setempat. Lalu, membentuk perspektif normatif dan mengajak pekerja, teman, serta masyarakat untuk mengenal pemikiran baru, misalnya, lewat media sosial seperti TikTok challenge,” kata dia dalam Forum Pra-KTT Ketiga Y20 Indonesia, di Balikpapan, Kaltim, baru-baru ini.
Baca Juga: Forum Y-20 Indonesia Ajak Anak Muda Bangun Ekonomi Sirkular
Sementara Partner in Systemiq Joi Danielson mengatakan perlunya memperhatikan pola konsumsi sebelum masuk ke pembahasan ekonomi sirkular. Menurutnya, manusia takut akan kelangkaan, sehingga cenderung mengonsumsi lebih dari apa yang dibutuhkan. Pada sebuah ekonomi yang berbasis konsumsi, semakin banyak yang dikonsumsi maka akan semakin tinggi Produk Domestik Bruto (PDB). “Sistem kita mengandalkan konsumsi berlebihan. Jika kita bisa membantu orang merasa bahwa apa yang mereka miliki sudah cukup, kita bisa meyakinkan mereka untuk hanya mengonsumsi yang dibutuhkan. Dengan ini, kita bisa mulai memutus siklus konsumsi tersebut,” jelas Joi.
Hal senada juga diungkapkan Program Lead di Platform for Accelerating Circular Economy, Ke Wang. Menurutnya, meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap ekonomi sirkular tidak hanya bisa mengakibatkan perubahan kebiasaan, tetapi juga perubahan kebijakan.
“Para politisi mendengarkan aspirasi masyarakat, namun kesadaran masyarakat terhadap ekonomi sirkular masih sangat rendah. Di sinilah, anak muda memainkan perannya lantaran telah menunjukkan bahwa mereka memegang peran penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap perubahan iklim,” kata dia.
Baca Juga: Menyulap Gelas Plastik Bekas Manjadi Nilai Ekonomi
Pendiri dan Kepala Eksekutif Waste4Change Mohammad Bijaksana Junerosano menambahkan jika populasi dunia saat ini telah mencapai 7,9 miliar jiwa sehingga jika ingin terdapat perubahan tanpa peperangan, sebanyak 4% dari sebuah populasi harus diyakinkan.