NOA | Banda Aceh – Tak terasa sudah 17 Tahun sejak MoU Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005 silam, namun hingga saat ini kejelasan dan kepastian tentang bendera Aceh yang disebut-sebut sebagai marwah rakyat Aceh tak kunjung berdiri.
“17 Tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah penantian, namun hingga saat ini rakyat Aceh tak kunjung mendapatkan kepastian. Qanun bendera yang telah disahkan juga hanya sebatas bingkisan jualan yang realisasinya juga laksana mimpi di tengah senandung nyanyian,” ungkap Koordinator Kaukus Peduli Aceh (KPA) Muhammad Hasbar Kuba kepada media, Minggu 14 Agustus 2022.
Mirisnya lagi, qanun nomor 3 tahun 2013 sejak disahkan melalui parlemen Aceh sekitar 9 tahun silam hanyalah menjadi jualan seakan-akan stakeholder di Aceh benar-benar telah memperjuangkan hal tersebut, padahal sampai saat ini hasilnya hanya satu tiang kosong di kantor DPRA.
“Mendagri pada tanggal 26 Juli 2016 telah mengeluarkan Surat pembatalan Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh yang tertuang dalam surat Kemendagri RI Nomor: 188.34/2723/SJ, sehingga qanun tersebut seakan menjadi regulasi yang realisasinya hanya ada dalam mimpi dan jualan politik saja,” tegasnya.
Setelah 17 tahun perdamaian, jangankan untuk membangun satu tiang lainnya di setiap instansi hingga kabupaten/kota untuk menaikkan bendera Aceh. Tiang yang sudah ada di depan DPRA juga tak kunjung dinaikkan bendera.
“Jika memang bendera Aceh sesuai qanun yang telah disahkan tidak bisa direalisasikan, maka seharusnya Pemerintah Aceh baik eksekutif maupun legislatif dan juga pemerintah kabupaten/kota bersama-sama duduk untuk membahas solusi kongkret agar Aceh tetap memiliki bendera yang lambang sebagaimana yang telah tertuang di dalam MoU Helsinki dan UUPA. Apakah langkah kongkretnya akan dilakukan advokasi bersama segenap stakeholeder agar bendera tersebut tetap sesuai qanun yang telah ada, atau dirubah kembali agar tidak dianggap bertentangan dengan undang-undang atau peraturan lainnya. Jadi harus ada langkah dan solusi kongkret,” tegasnya.
Menurut KPA, selama ini implementasi butir-butir MoU dan turunan UUPA tak bisa maksimal karena persoalan bendera dan lambang saja belum tuntas.
“Nanti jangan salahkan jika generasi berikutnya menaikkan bendera klub sepak bola di tiang kosong di depan DPRA, itu karena mereka tidak tahu tiang kosong itu untuk apa. Jika tidak, mungkin DPRA akan menaikkan 2 bendera merah putih di DPRA sebagai bentuk simbol nasionalisme ganda dan nasionalisme luar biasa para wakil rakyat di gedung DPRA. Hal itu sah-sah saja jika semua tanpa kepastian adanya,” kata Hasbar.
Menurut Hasbar, untuk tahap awal jika memang qanun bendera itu sudah sah, ada baiknya di instasi pemerintah provinsi, gedung wali nanggroe dan DPRA bahkan hingga kantor bupati, walikota serta DPRK untuk mulai dikibarkan, sehingga rakyat pun ikut mengibarkannya. Jika rakyat yang dikompori untuk mengibarkannya sementara stakeholder pemerintahan yang ada di Aceh juga tak kunjung berani menanggap qanun tersebut sah justru jadi blunder nantinya,” jelasnya.
Terakhir, KPA mengajak semua pihak untuk jujur kepada rakyat tentang fakta sebenarnya, apakah bendera Aceh itu benar diperjuangkan atau hanya alat jualan politik belaka.
“Jika hanya jualan politik belaka maka usailah sudah cerita perjuangan tentang MoU Helsinki dan UUPA sebagaimana selama ini didengung-dengungkan. Wajar saja jika publik akan beranggapan bahwa UUPA dan MoU Helsinki tak lagi jadi lembaran sakti, hanya sebatas cerita dongeng yang dirangkai di Helsinki, Finlandia. Rakyat menunggu kepastian langkah kongkretnya,” tegasnya lagi. []